Potensi Wisata Yang Diabaikan

Nuansa Magis Batu Buaya

Oleh: Budi Harold Rarumangkay

Foto Batu Buaya

Silahkan klik untuk memperbesar gambar.


Malalayang yang didiami komunitas Tou Bantik, diam-diam ternyata memiliki legenda mistis tentang suatu batu yang dinamakan Batu Buaya. Jejak sejarah yang diduga dari jaman sebelum masehi dan belum tersentuh ini. Menyimpan daya tarik yang kuat. “Nilai Jualnya” sama dengan Batu Pinabetengan. Bahkan sejumlah batu-batu yang dianggap bertuah di Malalayang Bantik ini menyimpan sejuta cerita sejarah bernuansa magis. Cerita magis Bantik atau umumnya Tou Minahasa inipun tidak kalah hebatnya dengan cerita pewayangan seperti di Jawa atau cerita legenda Joko Tingkir.



Bagi warga Tou Bantik sendiri dikenal beberapa batu bersejarah; diantaranya Batu Buaya, Batu Kuangang, Batu Opo. Batu Buaya adalah yang berbentuk seperti buaya. Batu ini terletak di kelurahan Malalayang Satu, sedangkan Batu Kuangang berada di Kelurahan Malalayang Satu Barat dan Batu Opo di Kelurahan Malalayang.



Batu Buaya lebih dikenal dengan legenda perang antara dua suku di Minahasa pada jaman dulu. Yakni; Tonaas Tonsawang dengan Tonaas Bantik. Sedangkan Batu Kuangang dan Batu Opo adalah batu bertuah. Berbagai kejadian aneh mengikuti sejarah batu-batu yang diyakini memiliki kekuatan gaib ini. Bahkan, menurut warga kampung setempat, tak jarang sejumlah pejabat penting di negara ini berkunjung minta wangsit disini.

Malalayang yang didiami komunitas Tou Bantik, diam-diam ternyata memiliki legenda mistis tentang suatu batu yang dinamakan Batu Buaya. Jejak sejarah yang diduga dari jaman sebelum masehi dan belum tersentuh ini. Menyimpan daya tarik yang kuat. “Nilai Jualnya” sama dengan Batu Pinabetengan. Bahkan sejumlah batu-batu yang dianggap bertuah di Malalayang Bantik ini menyimpan sejuta cerita sejarah bernuansa magis. Cerita magis Bantik atau umumnya Tou Minahasa inipun tidak kalah hebatnya dengan cerita pewayangan seperti di Jawa atau cerita legenda Joko Tingkir.



Bagi warga Tou Bantik sendiri dikenal beberapa batu bersejarah; diantaranya Batu Buaya, Batu Kuangang, Batu Opo. Batu Buaya adalah yang berbentuk seperti buaya. Batu ini terletak di kelurahan Malalayang Satu, sedangkan Batu Kuangang berada di Kelurahan Malalayang Satu Barat dan Batu Opo di Kelurahan Malalayang.



Batu Buaya lebih dikenal dengan legenda perang antara dua suku di Minahasa pada jaman dulu. Yakni; Tonaas Tonsawang dengan Tonaas Bantik. Sedangkan Batu Kuangang dan Batu Opo adalah batu bertuah. Berbagai kejadian aneh mengikuti sejarah batu-batu yang diyakini memiliki kekuatan gaib ini. Bahkan, menurut warga kampung setempat, tak jarang sejumlah pejabat penting di negara ini berkunjung minta wangsit disini.

Legenda Toar dan Lumimuut seperti kita tahu bersama, banyak keragaman tuturan peristiwa pertemuan dan perkawinan antara Toar dan Lumimuut. Bahkan sampai sekarang masih sangat kontradiktif, rancu, dan simpang siur penerimaan diantara sesama etnis dan adat Minahasa terutama menyangkut format “anak kawin mama”. Namun berdasarkan versi tuturan Bantik yang valid, ternyata tidak dijumpai atau dikenal istilah “anak kawin mama” dalam hubungan Toar dan Lumimuut sebagaimana yang sering dijumpai dalam tulisan/tuturan yang lain. (J.A. Koapaha, 2006).

Sekali peristiwa, tersebutlah tanah Ponaedan yang tenggelam diliputi air laut yang melimpah (air bah) sehingga semua penduduknya mati lemas dan jiwa-jiwa (roh) dari orang-orang yang sudah mati itu sebagian menjadi ilah-ilah yang baik dan sebagian lain menjadi setan-setan yang jahat. (Ponaedan menurut penuturan J.A. Koapaha, 2006, adalah Pamaedan yang dalam bahasa Bantik artinya tempat seka-kaki (keset) para dewa-dewa Kayangan.

Konon seluruh bumi pada waktu itu tenggelam dilanda air bah, hanya pada tanah Ponaedan itu masih tersisa sebuah tandusan (beting). Diatas tandusan terdapat sebuah batu besar, lalu turunlah seorang Empung yang bernama KADEMA dari “Kalrutuang” (kayangan/surga), berdiri di atas batu besar itu, dengan memegang sebuah alat kesaktian yang berbentuk seperti cambuk, yang dalam bahasa Bantik disebut “Tingkayuan”, lalu Ia memandang kesana-kemari dan sejauh mata memandang, hanyalah dikelilingi laut belaka.

Kemudian Kadema mengangkat cambuk saktinya dengan tangan kanan dan berkata : “Adodou adodou tanah Ponaedan timagongte ada bobodone dumulru kumilra kalrotou te nai age nu pung-pung bo kayu” (yang artinya : Ya tanah Ponaedan telah tenggelam, sekiranya jadilah guntur dan kilat dan mulai timbullah pula tanah yang baru yang ditumbuhi dengan rumput-rumputan kemudian dengan pohon-pohon kayu dari kecil-kecil hingga yang besar-besar, ya rupa-rupa jenis rumput dan kayu). Maka sekejap itu juga gunturpun berbunyi dengan dasyatnya bertubi-tubi diiringi dengan kilat sambung-menyambung, maka berangsur-angsur tanah kering di sekeliling batu itu bertambah-tambah luas, air mulai surut dan rumput-rumputan mulailah bertumbuh, demikian juga dengan kayu-kayuan berjenis-jenis, maka jadilah seperti yang dikatakan oleh Kadema.

Adapun tumbuh-tumbuhan yang bertumbuh pertama-tama di tanah Ponaedan tersebut adalah rumput sukuhu (bataka) diikuti goringo (karimenga) dan Lria (goraka), baru kemudian tumbuh-tumbuhan yang lainnya. Oleh sebab itu ke-tiga tanaman tersebut menjadi tumbuhan obat yang mujarab bagi masyarakat Bantik dan umumnya orang Minahasa, karena ke-tiga tumbuhan itulah yang mula-mula bertumbuh ditanah Minahasa, “tanah baru” dari tanah Ponaedan.

Sementara Kadema sedang berdiri diatas batu itu, maka sekonyong-konyong ia mendengar suara seseorang yang menjerit dibawah batu itu, lalu turunlah ia ke tanah, dan batu itu digoleknya sedikit, maka keluarlah seorang laki-laki muda dari bawah batu itu, lalu ia pun menyembah kepada Kadema. Kemudian Kadema berkata kepada laki-laki muda itu : “sekarang engkau dinamai Toada (Toar), sebab engkau kudapati di moada (tandusan)”. Moada dalam bahasa anak suku Bantik berarti tandusan (beting). Lalu tinggallah mereka di “tanah baru” itu dan itulah tanah Malesung atau Minahasa hingga sekarang.

Sekali peristiwa Kadema dan Toada bersepakat membuat sebuah patung dari lumut-lumut dicampur tanah liat dan diberi bertulang kayu, lalu jadilah sebuah patung yang amat elok. Toada memperhatikan patung tersebut dengan perasaan gembira, lalu katanya kepada Kadema : “alangkah baiknya kalau patung ini menjadi manusia”. Sahut Kadema nantilah kubawa patung itu naik ke langit ke keinderaan yang tertinggi menghadap yang Maha Kuasa yaitu Mabu Duata supaya ia diberi nafas kehidupan dan menjadi manusia.

Maka dibawalah oleh Kadema patung itu menghadap Mabu Duata, permohonan Kadema dikabulkan, lalu Kadema kembali ke bumi untuk menemui Toada dengan membawa patung yang telah menjadi seorang perempuan yang amat elok parasnya. Tetapi dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal Toada, patung yang telah menjadi seorang perempuan cantik itu sempat pegang dan ditegur oleh setan-setan yang jahat, namun perempuan itu tidak tahu dan tidak dapat melihat makhluk-makhluk halus tersebut.

Alangkah sukacita Toada melihat perempuan dari patung itu, tetapi tidak lama perempuan itu sakit lalu mati. Toada memanggil Kadema dan oleh Kadema, perempuan itu dibawa lagi ke keinderaan untuk dimintakan agar diberi nafas kembali. Mabu Duata mengabulkan permohonan Kadema dengan nasehat supaya setibanya di bumi haruslah mengambil ujung batang tawaang, dan diusap-usapkan pada tubuh perempuan itu.

Setibanya Kadema di bumi, datang lagi setan-setan jahat itu, tetapi mereka tidak berani mendekati perempuan itu, karena Kadema telah mengambil tawaang seperti yang sudah dipesan oleh Mabu Duata kepadanya. Oleh karena itu, sejak dahulu kala masyarakat Bantik sering menggunakan ujung tawaang untuk mengobati orang sakit. Balriang (Wailan) yang mengobati orang sakit, semalam-malaman memegang ujung tawaang, menyebut-nyebut nama Kadema, sambil mengusap-usapkan ujung tawaang ke tubuh orang sakit itu, untuk mengembalikan jiwanya yang telah pergi karena perbuatan dari setan-setan yang jahat.

Perempuan yang asalnya dari patung itu dinamai “Lumimuutu” oleh Kadema, sebab perempuan itu berasal dari lrumu (lumut). Masyarakat Bantik menyebut lumut itu “lrumu” atau “lrumuutu” kemudian lazimnya disebut Lrumimuutu (Lumimuut).

(Adapun asalnya Lrumimuutu, yang dikisahkan kembali oleh Joutje A. Koapaha, 2006 sbb. : Kadema bersama Toar ketika sedang menelusuri dan menikmati keindahan alam pesisir pantai tanah Malesung, mereka menemukan sebuah batu berbentuk aneh yang dinamai mereka sebagai “Batutuhe” atau batu nahi’sasuhe yang terdapat diatas gundukan pasir. Bentuk batu dikatakan aneh karena layaknya sepasang pria dan wanita yang sedang melakukan hubungan badan/seks. Dengan cambuk ditangan Kadema kemudian menggaris batu tersebut dengan batang cambuk yang akhirnya batu terbelah/terpisah. Setelah Batutuhe terbelah, ternyata didalamnya terdapat tubuh seorang wanita yang masih hidup terbungkus dengan lumut (Lrumu). Kadema menamai temuan mereka tersebut sebagai Lrumimuutu, karena didapati dalam keadaan terbungkus lumut).

Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai layaknya bersaudara dan Kadema menjadi orang tua mereka yang harus didengar segala perintahnya. Sekali peristiwa berkatalah Kadema kepada Toada dan Lrumimuutu : “pergilah kedua kamu masing-masing mengambil jalan sendiri-sendiri, mengelilingi kemana saja, untuk mencari pasangan (jodoh) kamu sendiri-sendiri. Inilah 2(dua) batang tongkat dan lihat sama panjangnya, ambilah seorang sebuah dan bila kamu masing-masing bertemu dengan seorang yang kamu suka, jadikanlah dia pasangan (jodoh) kamu, haruslah tongkat yang ada pada kamu itu diukurkan pada tongkatnya. Apabila tidak sama panjangnya, ambillah dia menadi pasangan kamu”. Maka diberilah oleh Kadema kepada Toada sebuah tongkat yang dari “tuis” (golobah) dan sebuah tongkat yang dari “asa” diberikannya kepada Lrumimuutu.

Mereka bertigapun berpisahlah dengan perasaan sedih, dan berjalanlah Toada pada jalan yang lain dan Lrumimuutu pada jalan yang lain juga. Dalam kurun waktu lama, bertemulah Toada dan Lrumimuutu, tetapi mereka tidak lagi saling mengenal dan bilamana mereka mengukur tongkat mereka masing-masing seorang pada seorang, ternyata tongkat mereka tidak sama panjangnya. Maka mereka berdua sepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Pada saat itu hadirlah Kadema dan menikahkan mereka berdua. Sesudah itu pulanglah Kadema ke keinderaan. Toada dan Lrumimuutu pada waktu itu tidak mengetahui sebabnya kenapa tongkat Toada telah menjadi lebih panjang dari tongkat Lrumimuutu, karena sebenarnya batang tuis (gelobah) walaupun hari ini dipotong tetapi biasanya ke-esokan hari batang tuis tersebut masih akan bertambah panjang.

Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai suami isteri, dan tinggal di sebuah pondok yang terletak dibawah pohon kayu Singkulrubu. Pada cabang bagian bawah pohon kayu itu, bertengger burung Bahkeke (Wakeke) dan sebelah atasnya burung Manguni. Oleh karena burung Bahkeke dan burung Manguni tinggal bersama-sama dengan Toada dan Lrumimuutu pada pohon kayu Singkulrubu itu, maka semua keturunan Toada dan Lrumimuutu amat percaya kepada burung-burung itu yang memberi alamat baik dan jahat. Burung Bahkeke memberi alamat/tanda pada siang hari dan burung Manguni memberi tanda pada malam hari.

Toada dan Lrumimuutu memperoleh beberapa anak diantaranya bernama Makaduasiou, Makatelrupitu, Makatelrusiou, dan lain-lain. Makin lama Toada dan Lrumimuutu mendapat karunia dengan keturunan yang banyak sekali. Kedua mereka hidup sampai lanjut usia, sehingga mereka dapat melihat akan segala keturunan anak-anaknya, cucu-cucu, cicit-cicit, dan buyut-buyutnya, banyak sekali tak terhitung jumlahnya.

Kemudian Toada dan Lrumiuutu mengumpulkan segala keturunannya yang telah menjadi banyak sekali itu pada suatu tempat yang bernama “Pinatiahen” (artinya: membahagi). Lalu Toada dan Lrumimuutu naik diatas batu besar dan membahagi bahasa, memberi peraturan-peraturan, adat-adat dan pantangan-pantangan, lalu bercerailah mereka itu semua bertumpuk-tumpuk masing-masing pergi ketempat yang disukainya.



Edited by Jeldy Tontey

Sumber ceritera :

- Sejarah Anak Suku Bantik Minahasa, oleh Pdt. Matheos Kiroh

- Ceritera turun-temurun masyarakat Bantik

Budaya kuliner Minahasa
Dogs are men's best friend.
....dan inilah yang terjadi ketika teman makan teman.

1. Abis toki tu anjing, bakar pa dia for kase abis itu bulu2.
2. Potong kong blah for kase kaluar isi puru.

3. Potong/teto tu anjing.
4. Ini depe isi puru yang so kase kaluar.

5. Daging anjing yang so teto.
6. Momasa tu RW deng rampa2, jangan lupa kase cap tikus sadiki.

Sumber:
http://touminahasa.blogspot.com

Brigade Manguni dgn Opo - Opo

KEDATANGAN PRESIDEN AMERIKA, George W Bush ke Indonesia, Senin (20/11), sepertinya tak hanya diributkan soal demo-demo tandingan. Namun kekuatan-kekuatan supranatural, seperti Ki Gendeng Pamungkas yang getol menyantet untuk mencelakai Presiden Amerika, menjadi topik hangat menjelang kedatangan pemimpin dunia itu.

Menariknya, dihari hampir bersamaan dengan Ki Gendeng Pamungkas mulai menyantet Bush, ternyata pasukan adat Tanah Minahasa yang getol dikenal Brigade Manguni (BM), telah lebih dulu membentengi Presiden Amerika itu dari pengaruh-pengaruh kekuatan jahat.

Upacara adat untuk menangkal kekuatan-kekuatan magis dan jahat itu, ternyata digelar sebanyak dua kali di hari "H" kedatangan George W Bush ke Indonesia.

Pertama, pagi hari di Watu Pinawetengan (Kawangkoan) subuh, pukul 05.00 Wita. Ritual di tempat yang diyakini keramat ini, para pemangku-pemangku adat dan para tonaas-tonaas Minahasa melakukan khusuk adat Minahasa.

Prosesi ritual yang dipimpin Tonaas Wangko Brigade Manguni, Decky Maengkom berlangsung hampir 3 jam itu, dibarengi dengan sejumlah kejadian-kejadian aneh. Misalnya saja, seekor burung Manguni yang terus saja mengitari arena prosesi selama ritual berlangsung hingga selesai.

Seusai upacara adat di pagi itu, Maengkom dan para tonaas lain diberi petunjuk untuk segera menuju ke satu lokasi, tempat kuburan kuno para leluhur Minahasa.

Sorenya kira-kira 2 jam sebelum George Bush injakan kakinya di Indonesia, rombongan pasukan adat BM beringsut menuju lokasi tertentu, seperti petunjuk di Watu Pinawentengan, yakni, Waruga, Sawangan Kabupaten Minahasa Utara.

Dalam perjalanan menuju lokasi Waruga, rombongan diguyur oleh hujan lebat, serta kilatan-kilatan petir berdesingan menyambar-nyambar dari langit.

Anehnya, ketika rombongan tepat tiba dilokasi Waruga, serta-merta hujan dan petir seketika itu juga langsung reda seolah-olah dihalau satu kekuatan yang tak terlihat. Menyaksikan kejadian itu, sontak saja banyak orang termasuk wartawan yang melakukan peliputan langsung keheranan dibautnya.

Di Waruga Sawangan, yang diyakini amat bertuah dan dapat memberi kekuatan supranatural bagi yang berkunjung ke situ, kembali digelar upacara adat. Ritual langsung dipimpin oleh Tonaas Wangko BM, Decky Maengkom serta di dampingi Tonaas Rambi dan Tonaas Supit.

Ritual penangkal mistik di pekuburan para leluhur Minahasa ini, dimulai bertepatan dengan Presiden Bush menginjakkan kaki di Indonesia, yakni pukul 17.00 Wita.

Dalam prosesi, para Tonaas membaluti dirinya dengan pakaian adat BM, Topi Minahasa, sebotol captikus, Dupa, Kertas Koran, serta 5 batang rokok.

Beberapa kali terlihat para tonaas mengelilingi makam (waruga) Dotu Kalalo. Mereka mengajukan berbagai permintaan-permintaan lewat pembicaraan singkat dengan diakhiri teriakan-teriakan.

“Opo-opo, jaga tanah Minahasa, Jaga Indonesia, Jaga Bush dan SBY…. Woooouuu….., I yayat U Santi!,” teriak tonaas Supit.

Decky Maengkom seusai ritual-nya, kepada wartawan mengatakan, kalau ritual di Waruga hanya merupakan lanjutan dari ritual Watu Pinawetengan.

"Kami menuntun dan menjaga Bush dari pengaruh mistik (ilmu sihir) jauh hari sebelum ritual penangkal bala pada hari ini," aku Tonaas Wangko Dicky Maengkom.

Pun maksud dari ritual ini, menurut Maengkom, adalah untuk menangkal santet-nya Ki Gendeng Pamungkas yang ambisi menyantet George WBush.

"Dia itu (Ki Gendeng) tidak ada apa-apanya. Sebab sejarah sudah membuktikan tempo dulu, bahwa warga Minahasa mampu menangkap Imam Bonjol dan Diponegoro, yang katanya hebat dalam ilmu-ilmu,” kata Maengkom berapi-api, bahwa ritual adat Minahasa mampu menangkal kekuatan-kekuatan jahat.

Laporan: Vanny "Maemossa" Loupatty)

I. AWAL PERISTIWA
PERANG DIPONEGORO : 1825 – 1830.
Perang Jawa, perang melawan Belanda di Jawa.
Pada sekitar abad ke 18 , penjajah Hidia Belanda dengan melalui perusahaan dagangnya VOC ( Verenigde Oost indische Compagnie ) sedang melebarkan kekuasannya untuk mengelolah dan memiliki perkebunan rakyat terutama rempah rempah dan beras diseluruh Indonesia termasuk di Jawa & Sulawesi – Maluku.

Pangeran Diponegoro
Pada waktu itu di Jawa berdiri satu kerajaan Jawa peninggalan Kerajaan Mataram yakni Kerajaan Jokyakarta ( Sekarang Jokyakarta - tetap) termasuk juga daerah Surakarta ( Solo ) dan diberi nama Kesultanan.
Orang pertama yang menjabat sebagai Sultan adalah Hamengkubuwono I, dan pada masa terjadi perang Diponegoro maka Joyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono V.
Penjajah Belanda melihat, karena Jokyakarta pada waktu itu sebagai lumbung beras utama di Jawa, maka harus dikuasai melalui VOC nya, dan terjadilah pematokan persawahan milik rakyat, yang kemudian diklaim sebagai milik pemerintah penjajah Belanda.
Salah satu Pangeran dari kesultanan Jokyakarta pada waktu itu yang bernama Pangeran Diponegoro*) tidak tahan dan emosi melihat rakyatnya diperlakukan demikian oleh Belanda.
Pangeran Diponegoro dengan nama lahir Raden Mas Ontowiryo adalah putra sulung dari sultan Hamengku Buwono III, lahir 11 November 1785.
Emosi Pangeran Diponegoro tak terbendung ketika pematokan dilaksanakan Belanda pada sawah sawah rakyat terlebih lagi melintasi kompleks pekuburan bekas Raja Raja Jawa, yang merupakan makam makam leluhurnya.
Rakyat yang mempergunakan jalan jalan yang ada untuk transportasi perdagangan dibebankan pajak yang tinggi oleh Belanda.
Pada waktu itu sebagai Raja ( Sultan ) Jokyakarta adalah sultan Hamengkubuwono V yang dinobatkan ketika baru berumur 3 tahun, jadi untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh kerabat Keraton HB IV.
Pemeritahan sementara kesultanan ini tidak berdaya, karena ternyata kekuasaan yang sebenarnya terselubung dan berkoloberasi dengan Pemeritahan Kolonial Belanda.

Kyai Mojo
Selanjutnya, Pangeran Diponegoro menyusun rencana untuk melawan penjajahan Belanda.
Beliau mengontak dan mengajak Kyai Mojo ( Ulama Islam) yang sekaligus gurunya dalam bidang spiritual agama Islam, juga sebagai pamannya, yang mempunya banyak pengikut dan disegani, serta , Tumenggung Zees Pajang Mataram, Tumenggung Reksonegoro.
Selain itu juga Pangeran Diponegoro mengajak Sentot Prawirodirdjo,18*), seorang pemuda yang pemberani.

Sentot Prawirodirdjo
Ayahnya bernama Ronggo Prawirodirjo adalah ipar Sultan HB IV, adalah pembrontak melawan Belanda tapi berhasil dibunuh oleh Daendles.
Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa dendam kepada Belanda.
Beberapa saat kemudian pada tahun 1825 berkobarlah Perang Jawa ( Diponegoro ) untuk melawan penjajahan Belanda, dimana perang tersebut sangat sulit diatasi Belanda dan memakan korban yang cukup besar dikedua belah pihak dan sudah berlangsung hampir 5 tahun.
Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa,sehingga mengakibatkan penyusutan penduduk Jawa pada waktu itu.

*) Sentot Prawirodirdjo berhasil dibujuk Belanda, dan dikirim Belanda dan meletakkan senjata pada tanggal 17 October 1829, dan dikirim Belanda ke Sumatra Selatan untuk melawan pembrontakan para ulama dalam perang”Padri”, kemudian wafat di Bengkulu pada tanggal 17 April 1855 dalam usia 48 tahun.

Jendral De Cock naik pitam oleh karena walaupun dia punya banyak serdadu akan tetapi dia tidak bisa memadamkan pemberontakan itu dan akhirnya mendapat kecaman dari atasannya di Batavia ( Jakarta ).
Suatu saat selagi perang berkecamuk Pangeran Diponegoro terluka tertembus peluru, yang kemudian beliau menunjuk Kyai Mojo sebagai Panglima Perang dan Pangeran Mangkubumi sebagai Komandan Lapangan.

II. PENANGKAPAN KYAI MODJO

Jedral De Kock panasaran, sudah hampir 4 tahun dia tidak berhasil memadamkan pembrontakan Diponegoro!
Untuk menaklukan Diponegoro maka dia lalu menerjunkan intelejennya yang terlatih untuk menganalysa kelemahan Pasukan Diponegoro.
Dari hasil pengamatan intelejennya dan setelah dilakukan analysa yang cermat diambil kesimpulan bahwa kekuatan atau pilar utama Pasukan Diponegoro terletak pada Kiay Modjo yang merupakan wakilnya dan menangkap sebagai Panglima Perang.
Berdasarkan hasil kajian tersebut maka Jendral De Kock harus menaklukkan Kyai Mojo terlebih dahulu dan harus dilumpuhkan, karena dialah sebagai Panglima Perang disamping penasehat Spiritual Diponegro.
De Kock merencanakanakan tipu muslihat untuk menangkap Kyai Mojo melalui undangan kepada Kyai Mojo untuk berunding.
Perundingan dapat dilaksanakan pada tanggal 31 October 1928 di desa Melangi Jokyakarta,tapi perundingan gagal.
Belanda membujuk lagi Kyai Mojo atas inisiatif Gubernur Jeneral Du Bus untuk berunding yang kedua kalinya, ( dalam perundingan ini apabila gagal maka Kyai Mojo harus ditangkap ).
Selanjutnya perundingan yang ke dua kalinya dilaksanakan pada tanggal 12 November 1928, di desa Kembang Arum Jokyakarta, dan gagal lagi.
Ditempat inilah Kyai Mojo dan pasukannya sekitar 500 orang dikepung oleh militer Belanda, yang dipimpin oleh Kolonel Le Bron, kemudian ditangkap dan dilucuti senjatanya.

Du Bus
Apabila hal ini terjadi pada saat sekarang ini, pada zaman modern, maka peristiwa ini adalah suatu kejahatan perang.
Konon khabarnya ( ? ) dalam peristiwa penangkapan Kyai Mojo ini Belanda mendatangkan ke tanah Jawa tentara Belanda Pribumi dari Manado dan Ambon ( baca Minahasa pada abad 18 ), pada halaman 16 buku ini.
Kyai Mojo dengan sangat marah mempertanyakan hal ini kepada Lekol Le Bron, yang kemudian ia menjawab, bahwa hal ini terpaksa dilaksanakan atas perintah atasannya.
Penangkapan Kyai Modjo

Dalam kondisi ini kemudian atas permintaan Kyai Mojo, sebahagian besar pasukannya dibebaskan Belanda, dan hanya kerabat kerabatnya yang ditahan Belanda sebagai tawanan perang.
Raja Belanda Willem 1 mengirim Komisaris General Du Bus de Gisiegnies menggantikan Van der Cappellen ( yang memerintah Hindia Belada ) dengan buruk yang mengakibatnya timbulnya perang Pangeran Diponegoro.
Tugasnya yaitu memulihkan keamanan di Jawa, sehingga VOC dengan aman melakukan transaksi perdangannya.
dibawah ke Semarang disertai residen Jokyakarta waktu itu, Van Dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda akhirnya Kyai Mojo dan rombongan Nes, melalui jalan darat.
Sesampainya di Semarang selanjutnya mereka diangkut dengan kapal Korvet Belanda ke Batavia ( Jakarta ) untuk menemui Gubernur Jedral Du Bus.

III. PENANGKAPAN PANGERAN DIPONEGORO
Dengan ditangkapnya Kyai Mojo, memberikan pukulan sangat berat kepada Pangeran Diponegoro, oleh karena Kyai Mojo merupakan Pilar Utama dalam perang Diponegoro.
Berbulan bulan Du Bus membujuk Kiay Mojo untuk meminta Diponegoro agar mau berunding, dan akhirnya disuatu saat Kiay Mojo mengirim surat ke Diponegoro untuk berunding.
Surat itu diatar 3 orang yaitu kapten Roeps yang fasih bahasa Jawa, Haji Ali & Kiay Hasan Besari ( dengan catatan kemudian setelah dilokasi mereka akan berjuang sendiri lagi ).
Pada waktu bersamaan De Kock berusaha menangkap Diponegoro seperti yang telah dilakukan terhadap Kiay Mojo, agar supaya dia dapat melaporkan ke Raja Willem 1, sehingga dapat mendepak Du Bus ( menggantikannya ).
Penangkapan P.Diponegoro

Mengingat kondisi Pangeran Diponegoro waktu itu dalam keadaan terdesak, Pangeran Diponegoro bersedia berunding.
Perundingan direncanakan di Magelang, gagal karena bulan puasa.

Perundingan berikutnya diadakan di pada tanggal 28 Maret 1830 saat Idhul Fitri.
Perundingan tidak mencapai kesepakatan, dan pada saat itulah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh pasukan Belanda pimpinan de Kock.
Pangeran Diponegoro ditawan, lalu dibawa ke Ungaran Semarang, kemudian ke Batavia.
Pada tanggal 8 April 1830 Pangeran Diponegoro sampai di Batavia dan ditempatkan di Stadhuis, kemudian pada tanggal 3 Mei 1830 Pangeran Diponegoro dan rombongannya diberangkatkan dengan kapal perang Pollux ke Manado.
Di Manado ditempatkan di Benteng Amsterdam selama 4 tahun.
Pangeran Diponegoro oleh Belanda tidak disatukan dengan Kyai Mojo di Tondano karena dianggap Belanda sangat berbahaya, hanya sekali saja sempat bertemu dengan Kyai Mojo.
Oleh karena Belanda menganggap penjagaan di Manado tidak cukup kuat, maka Pangeran Diponegoro dipindahkan di Benteng Rotterdaam Makassar pada tahun 1834, sampai wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 78 tahun.

IV. KYAI MOJO DIASINGKAN KE MINAHASA

Untuk menghindari kemungkinan Kiay Mojo dan rombongan kembali ke Pajang untuk bergabung kembali dengan Pageran Diponegoro, Du Bus telah merencanakan untuk mengasingkan mereka ketempat yang jauh, dan dipilih Minahasa di Ujung Sulawesi, yang pada waktu itu negeri ini belum lama dikuasai Belanda ( 1829 ).
Pemilihan tempat ini juga berdasarkan permintaan dari Residen dari Manado untuk mengirimkan tenaga tenaga ahli di bidang pertanian dari Jawa untuk membuat persawahan dimana hasilnya dapat mengisi uang kas keresidenan yang agak parah pada waktu itu.
Selanjutnya untuk pelaksanaan rencana tersebut, dilaksanakan beberapa tahapan.

Tahap 1.

Dari Kembang Arum Kyai Mojo dan pengikutnya dibawa ke Semarang.
Pengadilan Tinggi Belanda memutuskan bahwa Kyai Mojo sebagai tahanan politik.
Hasil sidang Pengadilan Tinggi adalah ( surat dari Menteri Negara Komisaris Jendral tanggal 1 Desember 1828 kepada Letnan Gubernur Jendral):

Kyay Mojo dan pengikutnya dipenjara dalam bentuk tahanan rumah.
Ir.Tromp ditunjuk sebagai pelaksana pembangunan “rumah tahanan” tersebut.
Menyiapkan 25 orang serdadu Ambon secara bergantian menjaga rumah tersebut.

Tahap 2.

Kemudian setelah beberapa lama di Semarang Kyai Mojo diangkut dengan kapal perang Belanda”Mercury” ke Batavia.
Berdasarkan surat Kapten Laut Komandan dan Direktur Kelautan Hindia Belanda kepada Gubernur Jendral tanggal 1 Desember 1828 No.231N/3116K:
Pengurusan Kyai Mojo,dan pengikutnya, ditempatkan di kapal Fregat De Belona dan satu kapal tunggu untuk kemudian dinaikkan ke kapal perang Belanda Mercury, dengan pengawasan militer.
Memperlakukan tawanan dengan baik sesuai perjanjian antara Kepala Hakim dan Komandan Fregat De Belona.
Kapal perang Mercury yang mengangkut tawanan Kyai Mojo dikawal 2 kapal fregat De Belonana dan Anna Paulona.

Tahap 3.

Tanggal 3 Desember 1928 tiba di Batavia.
Sesuai dengan kesepakatan semua pihak, maka tawanan diperlakukan dengan baik serta diperhatikan kebutuhan sehari harinya.
Hal ini perlu dilakukan karena Kyai Mojo masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat.
Karena dianggap berbahaya oleh Belanda maka sewaktu berada di Batavia, tidak ditempatkan di gedung penjara menyatu dengan dengan tahanan biasa, tapi ditempatkan di “kantor baru” sebagai tahanan rumah.
Dikemudian hari ternyata tempat ini, adalah tempat menunggu untuk pengasingan terakhir ke Minahasa.
Oleh karena tahanan politik ini sangat istimewa maka semua kebutuhan hidup sehari hari Kyai Mojo dan pengikutnya ditanggung oleh pemerintah kolonial Belanda dengan biaya yang cukup mahal pada waktu itu.
Sebagai pemasok kebutuhan tersebut adalah Kapten Cina bernama Jap Soan Kho.
Adapun biaya tersebut sesuai laporan sekertaris penjara tanggal 3 Desember 1828 adalah:
1. Daging ayakm, ikan, daging sapi F 23
2. Sayur sayuran 5
3. 6 botol minyak kelapa 3
4. Macam macam bumbu sayur 4
5. Buah buahan 5
6. ¼ canting garam 0,183/4
7. 9 roti 2
8. 3 pon mentega 2
9. ½ keju 1,25
10. Kue kue pribumi 8
11. ½ canting kopi 1
12. Gula 2
13. The 1
14. 10 canting nasi 2,50
15. ½ ikat kayu bakar 5
16. Sirih, pinang,kapur sirih 2,5
17. 5 botol minyak lampu 2,5
Jumlah F 73,4 33/4

Selain itu ada lagi kebutuhan biaya sebesar F492, untuk pengadaan pakaian Kyai Mojo dan pengikutnya,
Selama berada di Batavia Belanda sudah menghabiskan biaya total F3051,15 yang ditanggung pemerintah kolonial Belanda sebagai biaya perang.

Tahap 4.

Selanjutnya setelah kurang lebih setahun Kyai Mojo dan rombongannya di Batavia disatu saat pagi yang cerah dipelabuhan Batavia sekarang Tanjung Priuk, bulan October 1829, telah bersandar sebuah kapal perang Belanda ( fregat ) Thalia, yang telah dihiasi dengan hiasan klasik Jawa ala Kraton.
Dari Dermaga sampai ke Kapal telah ditebarkan karpet yang mengingatkan kejayaan kerajaan Mataram dulu.
Kemudian Du Bus memanggil Kiay Mojo melalui ajudannya menemuinya dan mengundang menghadiri acara ramah tama diatas geladak kapal korvert tersebut bersama dengan Admiralnya.
Kiay Mojo langsung berfikir mencari alasan untuk menolak undangan tersebut karena dia tidak suka dengan acara tersebut yang berfoya foya dan huru hara.
Akan tetapi sebelum menemukan alasannya sudah muncul berderet kereta kereta yang akan mengangkut mereka ke kapal yang dipimpin oleh residen Jokyakarta Van Nes.
Dengan kondisi yang tiba tiba itu dan terdesak akhirnya Kiay Mojo dan rombongannya naik kreta menuju ke Kapal didampingi oleh Residen Jokyakarta Van Nes.
Van Nes tidak hanya mendampingi Kiay Mojo ke Kapal tapi mendampinginya terus sampai ke Minahasa.
Du Bus telah menyiapkan segala sesuatunya yang berurusan dengan keperluan Kiay Mojo.
Kepada Gubernur Maluku diinstrusikan agar supaya memberikan fasilitas fasilitas yang diperlukan kepada residen Manado.
Sesampainya di Dermaga Kiay Mojo disambut Admiral kapal perang Korvert, berjabatan tangan dan juga disambut oleh Kapten Kapal beserta anak buahnya.
Tak lama berselang Admiral menghilang menuju kekapal komandonya yang disembunyikan ditempat lain.
Penyambutan yang berlebihan itu membuat Kiay Mojo curiga dan memandang pada senopatinya Tumenggung Zees Pajang dimana dia membalas dengan pandangan yang serupa.
Kemudian Kiay Mojo diajak Kapten Kapal mengelilingi ruangan kapal dan diperlihatkan alat alat senjata Meriam dan jejeran senjata lainnya.
Kyai Mojo & Du Bus

Kemudian senopatinya nyeletuk kepada Kapten Kapal, inikah kapal yang mengangkut 3000 tentara Belanda Totok ke Jokyakarta yang telah disapuh bersih pada waktu perang berkecamuk, tapi Kapten Kapal tidak menjawab menundukkan kepalanya, sambil terus berjalan.
Dalam acara ramah tamah sambil menyuguhkan makanan diberitahukan bahwa rombongan Kiay Mojo didalam kapal ini akan melakukan darmawisata ( dibohongi ) di Utara perairan Laut Jawa, dan baru sesuap makan kapal sudah bergerak menjauhi Tanjung Priuk.
Dengan menancapkan gas vorseneling penuh kapal korvet tersebut bergerak dengan cepat sehingga Tanjung Priuk tidak kelihatan lagi, tiba tiba dengan tak terduga muncul 2 kapal lain yang membuntuti dari belakang.
Tidak berapa lama kemudian pantai Utara Jawa Barat menghilang dan dari atas geladak kapal itu Kiay Mojo melihat dengan jelas ternyata 2 kapal yang membututi dari belakang penuh dengan serdadu serdadu Belanda.
Sadarlah Kiay Mojo sekarang bahwa dia telah dijebak dan tidak tau mau dibawa kemana! Apakah ke suatu tempat antah berantah!
Dengan rasa kecewa dan amarahnya Kiay Mojo dan beberapa pengikutnya bergegas menemui Kapten Kapal untuk menanyakan kapal ini tujuannya kemana, dan serta merta Kapten Kapal menyongsong mereka dan berkata, bahwa kapal ini atas perintah atasannya akan menuju ke Minahasa Sulawesi Utara ( sekarang ), sebagai tawanan yang terhormat, dan lihatlah disamping kapal ini , 2 kapal perang sudah siap melakukan sesuatu apabila saudara saudara membuat kegaduhan diatas kapal ini.
Pemuda pemuda yang lain sudah berteriak Allahu Akbar untuk mengadakan pemberontakan diatas kapal, untuk menangkapi Kapten dan awaknya dan akan dilemparkan ke laut Jawa.
Mereka bersedia rela mati Syahid, biar darah mereka menyirami laut Jawa.
Kemudian Kiay Mojo berkata, tengoklah teropong teropong dari 2 kapal disamping yang diarahkan ke kita, salah sedikit kita akan mati, mati konyol namanya.
Akhirnya Kiay Mojo dapat meredahkan emosi rombongannya, dimana kapal sudah memasuki laut Sulawesi untuk singgah sebentar di Makassar, kemudian kapal bergerak lagi dan memasuki perairan Maluku dan singgah sebentar di Ambon untuk melapor kepada Gubernur Maluku yang membawahi kresidenan Manado.
Selanjutnya Kapal melanjutkan perjalanan menuju Minahasa dan akhirnya berlabuh di Kema pantai Timur Minahasa, rombongan tetap didampingi oleh residen Jokyakarta Van Nes.
Kema pada waktu itu adalah satu pelabuhan antar pulau dengan kepulauan kepulauan di Maluku.
Pada masa itu perjalanan Betawi – Minahasa PP dilakukan melalui Ternate atau Ambon, kemudian route dirubah Betawi – Makassar – Manado.
Negeri negeri seperti Minahasa, Bolaang Mongondow, Sangir Talaud adalah wilayah kresidenan dengan ibu neger Manado dibawah pemerintahan Prefekture / ke Gubernuran Maluku dengan ibu negeri Ambon.
Dapat dibayangkan bagaimana perasaannya Kiay Mojo dan rombongan melihat kenyataan bahwa mereka telah berada disatu tempat yang sangat asing yang kondisinya dan adat istiadatnya jauh berbeda dengan tanah kelahiran mereka Joyakarta.
Kedatangan mereka disambut oleh residen, Meester in de Richten, D.F.W.Pietermaat .
Rombongan ditempatkan dikediaman Residen, kemudian bercakap cakap mengenai selama perjalanan dari Betawi – Kema.
Van Nes menyerahkan dokumen dokumen rombongan kepada Residen dan sejurus kemudian dia berkata kepada rombongan, saudara saudara, tuan tuan sebentar lagi segera akan berangkat ke Manado untuk urusan lebih lanjut bagi kepentingan tuan tuan sendiri., lalu kemudian kedua orang Belanda itu naik kereta model abad 18 menuju Manado.
Dalam pada itu sepasukan Borgo telah siap untuk mengawal Kiay Mojo dan rombongannya untuk berangkat menuju Manado.
Maka nampaklah serombongan orang orang yang masih asing bagi penduduk Minahasa dalam formasi yang teratur rapih yang dipimpin oleh Tumenggung Sis Pajang melakukan Long March melalui jalan Minawerot* yang mulai dari Kema non stop.
Akan tetapi setelah melewati Kumelembuai ( Airmadidi ) yang sekarang, Komandan pasukan Borgo memberikan abaaba untuk istirahat seketika.
Nampaknya serdadu serdadu Borgo itu sangat keletihan padahal diantara mereka itu terdapat ”Scherpspschutters” - snipeer ( penembak jitu ) namun dalam melakukan perjalan Long March itu mereka tidak biasa, hal ini berbeda dengan Kiay Maja & rombongan yang sudah terlatih bertahun tahun mendaki bukit bukit yang tinggi, melintasi tebing tebing yang curam, mendaki bukit bukit yang tinggi, disekitar gunung Merapi di Jawa Tengah itu.
Sejurus kemudian kendati masih letih dan penat Komandan Pengawal Borgo memberikan aba aba untuk meneruskan perjalanan dan apabila telah mencapai sebuah tikungan jalan dimana terdapat jembatan Panjang yakni jembatan Kairagi yang sekarang terletak di pintu gerbang pntu masuk kota Manado maka akhirnya sekarang berbalik yang seharusnya mengawal menjadi dikawal.
Disaat sat seperti itu tampil beberapa pemuda dan menghadap Kiay Mojo dengan maksud hendak melucuti senjata senjata serdadu borgo tersebut akan tetap pemuda yang tertua dari mereka segera bertindak menggagalkan maksud mereka tersebut dengan berkata, bekin susah akan menghancurkan diri sendiri.
*)Minawerot dalam bahasa Minahasa berarti berjejer.
Kampung2 yang berjejer di sepanjang jalan, yaitu mulai dari Kauditan, dekat negeri Kema sekarang, sampai kedesa Tumaluntung dekat Airmadidi yang sekarang berderet kampung2 yang tiada putus2 yang sekarang ditingkatkan menjadi jalan”Worang ByPass” langsung kekota pelabuhan Samudra Bitung.

Tak berapa lama kemudian nampak menyongsong sepasukan serdadu yang lain yang akan menghantar rombongan disuatu kompleks yang telah ditunjukkan oleh residen Manado, yaitu kompleks dimana beradanya rumah bekas tempat kediaman dari raja Manado (suku bangsa Bobentehu) dilokasi Pondol sekarang di Manado.
Sambil menunggu proses administrasi yang sedang dilakukan di Kantor Kresidenan yaitu dilokasi Kantor Gubernur yang lama di Pondol, rombongan diistirahatkan di Rumah Residen, dan selanjutnya Long March dilanjutkan lagi menuju Tondano.
Sebelum lebih lanjut menguraikan sejarah Long March Manado – Tondano baiklah kita lihat secara singkat Selayang Pandang Kota Manado pada waktu itu.

V.SELAYANG PANDANG
KOTA MANADO & MINAHASA.

Hingga tahun 1824 sebutan Manado belum terdapat dalam peta Minahasa.
Orang orang suku Minahasa lebih senang dan aman hidup di pedalaman daripada dipesisir, disebabkan oleh karena bajak bajak laut dari Mindanau Philipina yang selalu saja datang merampok, membunuh dan membakar habis negeri negeri yang berada disepanjang pantai Timur Minahasa dan sering sering juga muncul secara tiba tiba pantai Barat Minahasa, maka sebutan Manado itu tidak dikenal oleh suku bangsa Minahasa.
Jumlah penduduk Minahasa waktu itu baru sekitar 80.000 jiwa*
Manado disebut oleh mereka2 “MANAROW”/BENANG dan kadangkala disebut juga BOBENTEHU oleh karana dimasa itu di Manado didiami oleh suku Bobentehu yang berasal dari Sangir Talaud dan pernah berkuasa di Manado dan Bolaang Mongondow.
Seorang dari suku Bobentehu yang bernama “LOLODA MOKOAGOW” memproklamirkan dirinya selain menjadi raja Manado, juga menjadi raja Bolaang Mongondow.
Menurut sumber yang lain jauh sebelumnya suku Bobentehu itu itu adalah campuran Ternate,Sanger Talaud dan Bolaang Mongondow.
Mereka mereka itulah yang pertama-tama mendirikan Balok Balok
( tempat Tinggal ), yang kemudian Balok Balok itu disebut oleh suku Minahasa WALAK WALAK, dan terakhir dibahasa Minahasakan menjadi ”PAKASAAN”**
Jadi suku Bobentehu itu bukanlah suku asli Minahasa, sebaliknya apabila orang orang suku Minahasa datang pindah tempat tinggal di Manado maka mereka itu terhisab orang orang pendatang.
Jikalau seseorang suku Minahasa asli hendak bepergian ke Manado, maka tetangganya akan menyapanya dalam bahasa daerahnya, “Mange-an isako” ( Mau kemana enggkau ),maka dia akan menjawab, “Mange-an manarow”/Benang”(Pergi ketempat yang jauh/Benang ).
BENANG adalah sejenis pohon yang besar yang sangat rimbun bertumbuh di Manado menjadi tempat berlindung dikala panas terik. Kemudian dengan perubahan struktur kepemirantahan Prefektur ke Gubernuran Maluku dimana Manado dijadikan ibu negeri Kresidenan maka mulai tahun 1825 nama MANAROW/BENANG disebut dengan lidah Belanda “MANADO”.
Jauh sebelum masa itu bangsa kulit putih yang menginjakkan kakinya di Minahasa adalah Portugis dan Spanyol hingga akhir abad ke 18.
Kemudian pada abad ke 17 adalah bangsa Indonesia sendiri yaitu Sultan Hairun dan dilanjutkan oleh putranya sultan Baabullah dari ternate.

*) R.Z.Leirissa-dalam bukunya: Minahasa diawal Perang Kemerdekaan-Peristiwa Merah Putih dan Sebab Musababnya.
**) Pakasaan: Sesuatu yang dilakukan satu kali atau menyatukalikan sesuatu keseluruhan
( Kesatuan = Distrik )
Sebelumnya juga bangsa Belanda dengan VOC nya ( Vereenigde Oost Indische Compagnie) dan Inggeris.
Pada masa ini ada satu hal sangat paradox dan kontradiktif.
Ternyata Belanda pada waktu itu sedang merekrut pemuda pemuda Minahasa untuk melawan Perang Diponegoro karena VOC belum mempunyai tentara asal Minahasa.
Pada tahun 1829 Hukum Besar Tondano, Abraham Dotulong membuat perjanjian dengan residen di Manado dan menyiapkan 120 pemuda, Hukum Besar Tonsea, Lucas Pelengkahu menyiapkan 377 pemuda, Hukum Besar Sonder, Herman Willem Dotulong menyiapkan 240 pemuda, sampai mencapai jumlah keseluruhan 1.400 pemuda Minahasa yang dikirim ke Jawa.
Setelah Perang Dipanegara selesai sebahagian dari pemuda pemuda Minahasa ini pulang kembali ke Minahasa yang kemudian dikenal denagan nama KNIL ( Koninklijk Nederlandsch Indische Leger ) yang pada waktu itu merupakan kebanggan tersendiri, walaupun dikemudian hari membrontak ke Belanda karena dianggap soldadu klas II ( tidak disamakan dengan Belanda ).
Hal ini bisa terjadi karena para Kepala Walak welcome dengan Belanda ( VOC ) didalam citra perdagangan KOPI di sekitar Tondano, sehingga terjalin hubungan yang baik.
Disamping itu juga bahwa Belanda telah menguasai Minahasa melalaui peperangan yang dahsyat dengan jatuhnya benteng pertahanan Minahasa Moraya di Tondano pada tahun 1809.

VI. LONG MARCH
MANADO – TONSEA – TONDANO

Sebelum rombongan melanjutkan kembali perjalanan LONG MARC dari Manado menuju Tondano, Residen Manado Pichtermaat yang Sarjana Hukum “Meester in de Rechten” membacakan keputusan yang disaksikan oleh Residen Jokyakarta Van Nes:

“Sebagaimana tuan tuan sudah lihat, Pemerintah tidak akan mendustai kata katanya sendiri, yaitu bahwa tuan tuan akan diperlakukan dengan baik.
Sebagaimana tuan tuan sudah tahu, bahwa tindakan yang telah diambil oleh Pemerintah terhadap tuan tuan sekalian itu, dimaksudkan untuk menghentikan permusuhan yang sudah menelan korban korban manusia dan harta benda yang sangat banyak.
Sekarang tuan tuan sudah berada di Minahasa dan urusan urusan kepemerintahan terhadap tuan tuan berada ditangan kami ( Residen Manado ) melalui Konteler.
Mulai sekarang, tuan tuan sekalian dinyatakan bebas dari pada segala tindakan2 Pemerintah yang telah diambil sebelumnya, dan disini ( Minahasa ) bebas memilih tata cara kehidupan sesuai kesanggupan dari tuan tuan sendiri.
Hak hak dan kewajiban tuan tuan adalah sama dengan hak hak dan kewajiban penduduk Minahasa, yaitu tunduk pada Reglemen Reglemen Kepemerintahan, dengan syarat syarat bahwa tuan tuan jangan lagi berbuat seperti yang telah berlaku di Jawa dan janganlah mempengaruhi penduduk Minahasa untuk bersikap bermusuhan dengan Pemerintah.
Kami tahu, bahwa tuan tuan berkehendak untuk melakukan Syariat agama tuan tuan sebagaimana mestinya dan untuk itu tuan tuan tidak terlarang.
Juga kawin mawin dengan penduduk Minahasa tidak terlarang, hanya hal itu harus dilaporkan langsung kepada tuan Konteler dan apabila ada terdapat salah seorang anggota dari rombongan tuan tuan yang bermaksud kawin dengan anggota Walak Walak, hendaklah hal itu dilaporkan kepada Residen.
Kami, selaku penguasa kepemerintahan di Minahasa memintakan agar tuan tuan menjadi suri tauladan bagi penduduk Minahasa didalam Pemerintah memajukan daerah Minahasa didalam bidang pertanian, terutama persawahan dan perladangan sebagaimana hal itu berlaku di Jawa.
Untuk itu Pemerintah telah menyediakan bagi tuan tuan daerah tanah garapan yang sifatnya jauh lebih baik dari pada jenis tanah garapan di Jawa.
Tanah garapan itu berada diwilayah keperintahan tuan Konteler yang berkedudukan di Tondano.
Kepada tuan Konteler yang bertempat kedudukan di Tondano kami telah serahkan wewenang atas nama Pemerintah untuk mengatur sebaik baiknya segala sesuatu yang tersangkut paut bagi urusan tuan tuan disana, dan sekarang tuan Konteler itu menunggu kedatangan tuan tuan dan akan menyambut tuan tuan disana.
Perlu tuan tuan ketahui, bahwa menurut keputusan Pemerintah tertinggi Paduka tuan Komisaris General di Betawi, bahwa kepada tuan Kyai Mojo diberikan onderstand (tunjangan) hidup sebanyak empat ringgit sebulan, demikian pula kepada tuan tuan yang lain diberikan onderstanf sesuai kedudukan masing masing sewaktu menjabat Pati di Jawa.
Agar tuan tuan bersiaplah berangkat menuju tanah garapan itu dan untuk itu tuan tuan akan disertai oeh beberapa petugas sekedar petunjuk jalan.
Maka dengan mengucapkan Selamat Jalan dan Selamat bekerja, Meester in de Rechten residen Picteermaat mengetok palunya diatas mejanya, tanpa memberikan kesempatan sedikitpun juga kepada Kyai Mojo, selain dari pada berjabatan tangan satu sama lainnya.
Namun Kyai Maja menyadari bahwa keputusan itu mengandung udang dibalik batu.
Perjalanan Long March menuju Tondano segera dimulai dengan route Manado – Tonsea Lama – Tondano dengan jalan menyusuri aliran sungai Tondano.
Melalui tanjakan bukit bukit, jurang yang tidak terlalu dalam tidak menjadi halangan melintasi daerah dimana berada desa Kuwil yang sekarang, terus menanjak non stop hingga mencapai suatu tikungan sungai Tondano, dimana disebelah Timur sungai Tondano berada desa Sawangan yang sekarang, terus lagi menanjak melintasi dimana disebelah Timur sungai beradanya desa Tanggari yang sekarang, terus lagi menanjak sampailah mereka disuatu bukit yang bernama TASIKELA*, Long March berlanjut terus menanjak, sampai suatu saat bertemu GEROJOGAN ( Air Terjun ) yang sekarang sebagai Pusat Listrik Tenaga Air ( PLTA ) di Minahasa , setelah itu dalam perjalanan selanjutnya tidak ada lagi tanjakan bukit dan setelah sekitar 30 menit sampailah Kyai Mojo dan rombongan ditempat tujuan.
Tempat itu berada paling ujung Selatan negeri Tonsea Lama dan paling Utara ujung negeri Tondano sekarang.
Perjalan Long March ini memakan waktu kurang dari sehari, hanya sekitar delapam jam dari Manado.

*) bekas bekas jejak jejak kaki bangsa Spanyol dimana mereka mereka itu bermaksud medirikan Benteng dibukit itu pada sekitar tahun 1620).

Disatu tempat seluas setengah hektare terlihat satu bangsal (bangunan) dari bambu yang merupakan gerbang pintu batas antara Walak ( distrik ) Tonsea disatu pihak dan Walak ( distrik ) Toulour dipihak yang lain.
Lokasi itu berada ditepi Barat Sungai Tondano yang dikelilingi lapangan yang berawa melulu, melalui arah Barat rawa itu mencapai lokasi beradanya Balai Ibukota Dati II Minahasa sekarang.
Kemudian Konteler menunjukkan batas batas daerah tanah garapan kepada Kyai Mojo dan rombongannya, yaitu, Lembah berbatasan puncak bukit pegunungan Makawaimbeng ( sekarang menjadi stasiun pemancar TVRI ) disebelah Timur, disebelah Selatan berbatasan dengan kali Sumesempot yang berhulu dari pegunungan Lembean
dan bermuara disungai Tondano, terus dengan Selokan Sumalanka yang berhulu dari pegunungan Masarang dan bermuara di Sungai Tondano juga.
Disebelah Utara berbatasan dari bukit pegunungan Masarang ke bukit pegunungan Lembean kecuali negeri Tonsea Lama.

VII. TEMPAT TINGGAL PERTAMA.

Bertempat di Bangsal tadi itulah sekarang Kyai Mojo dan rombongan tinggal, sedangkan Konteler sendiri bertempat tinggal di Loji Tondano, kampung Liningaan sekarang.
Untuk sementara mereka tidak bisa berbuat apa selain berpikir bagaimana mempertahnakan hidup, dan untuk kebutuhan makan digunakan uang santunan yang diberikan Residen.
Disekitar tempat itu sejauh mata memandang seluruhnya berupa rawa rawa dan alang alang yang kelihatannya seram dan kejam.
Setiap hari siang malam hanya terdengar bunyi jangkrik dan nyamuk nyamuk yang bersliweran.
Hal ini menjadikan pertanyaan, memang apabila Kyai Mojo dan rombongan tidak punya keahlian khusus, waktu itu mungkin sudah dipastikan seluruhnya akan mati konyol disana.
Mungkin itulah yang dimaksud dalam benak Kyai Maja sewaktu dibacakan keputusan Residen Manado sebelum berangkat ke Tondano.
Dengan kondisi demikian maka Kyai Mojo dan rombongan membuat suatu rencana atau program bagaimana merubah tanah tersebut menjadi persawahan.
Rencana dimulai pada tanah rawa ditepi Timur Balai Kota Dati II Tondano sekarang hingga Tepi Barat Sungai Tondano.
Didalam perencanaan ini seluruh pengalaman dari Jawa dikerahkan untuk membuat rencana tersebut supaya menjadi kenyataan dan harus berhasil.

VIII. PERSAWAHAN PERTAMA KALI
DI TONDANO.

Setelah beberapa lama maka rencana merubah lapangan rawah menjadi lahan persawahan dimulai, dengan memanfaatkan sumber air dari pegunungan sekitarnya.
Tondano Tempo Dulu
Yang pertama dilaksanakan adalah menggali tanah ditengah lapangan rawah menuju Sungai Tondano.
Maksudnya agar air rawa yang sudah berabad lamanya itu dapat dialirkan ke Sungai Tondano sehingga disuatu saat air rawa yang sudah berwarna merah kecoklatan itu lapangan rawa itu kering dari air yang menggering.

Hal ini harus dilakukan karena sudah beberapa kali dicoba menanam padi akhirnya sebelum berbuah padi memerah dan musnah.
Hal ini diakibatkan karena tanahnya mengandung kadar alkalis yang tinggi.
Selanjutnya pada tahap berikutnya seluruh tumbuhan rawa dicabut seluruhnya dan dibenamkan kembali kdalam rawa untuk dijadikan pematang sawah, sehingga lapangan menjadi petak petak.
Setelah itu beberapa petak digemburkan untuk dijadikan pembibitan padi.
Setelah 40 hari maka padi yang sudah tumbuh dipindahkan keseluruh petak petak sawah tadi , sambil berdoa semoga usaha ini berhasil
Kemudian ternyata usaha ini berhasil dan menhasilkan panen yang banyak akhirnya mengagetkan penduduk Tonsea dan Toulour dimana akhirnya semua mayarakat dapat menikmati hasil panen padi tersebut.
Sampai saat ini persawahan tersebut masih eksis yaitu di desa We’welen ( lua’n ) dan Bacek ( Tanah Rawa ) dan Tounsaru.

IX. PEMBANGUNAN DESA MODEL BLOK
PERTAMA KALI DI TONDANO

Sesudah sekian lama Kyai Mojo tinggal di lokasi Bangsal, maka terjalinlah hubungan yang sangat harmonis dengan penduduk Tonsea Lama, saling menghormati.
Walaupun binatang peliharaan penduduk Tonsea yang waktu itu yang namanya “Kenjer” selalu saja datang mengganggu tapi binatang binatang itu tidak pernah dianiaya.
Walaupun demikian terasa perlu memindahkan tempat pemukiman karena dilokasi itu nampaknya kurang sehat ditempati untuk tempat kediaman.
Untuk menetapkan*) lokasi yang tepat dan sehat untuk pemukiman maka Kyai Mojo membuat empat buah “Anca” ( sosiru )yang terbuat dari nyiru dan masingmasing anca diisikan segumpal daging sapi, kemudian keempat anca ini diikatkan pada empat ujung bambu dan ditancapkan dikeepat penjuru sesuai batas batas yang telah ditentukan ole Konteler yaitu:

1. Dipancangkan dikaki pegunungan Masarang.
2. Dpancangkan disudut delta yang diapit kali Sumesempot sebelah Selatan dan di Barat Sungai Tondano.

*) Menentukan posisi Kampung Jawa Tondano, dalam pengertian saat ini adalah berhubungan dengan nilai kelembaban udara.

3. Di Kompleks makam Kyai Maja sekarang ( Wulouwan )
4. Disebelah Timur Tonsea Lama.

Pada waktu waktu tetentu daging daging yang digantung itu diperiksa, pada tiang bambu manakah, daging daging yang digantung itu cepat atau lama membusuk.
Ternyata setelah pengamatan maka yang tahan lama membusuk adalah daging ditiang yang ditancapkan dilokasi delta yang diapit oleh kali Sumesempot dan Sungai Tondano itu.

Maka diputuskanlah ditempat itu untuk pembangunan Desa yang sekarang menjadi desa Kampung Jawa Tondano.

Sambil menunggu proses administrasi yang sedang dilakukan di Kantor Kresidenan yaitu dilokasi Kantor Gubernur yang lama di Pondol, rombongan diistirahatkan di Rumah Residen, dan selanjutnya Long March dilanjutkan lagi menuju Tondano.
Sambil menunggu proses administrasi yang sedang dilakukan di Kantor Kresidenan yaitu dilokasi Kantor Gubernur yang lama di Pondol, rombongan diistirahatkan di Rumah Residen, dan selanjutnya Long March dilanjutkan lagi menuju Tondano.
Sebelum lebih lanjut menguraikan sejarah Long March Manado – Tondano baiklah kita lihat secara singkat Selayang Pandang Kota Manado pada waktu itu.

Tanpa disadari dengan perjalanan waktu, maka Kyai Mojo beserta rombongannya telah menciptakan suatu pemukiman baru di Tondano – Minahasa , yaitu Kampung Jawa Tondano pada tahun 1831.
Tanah Kampung Jawa Tondano adalah pemberian Negara ( Hindia Belanda ).
Residen Menado mengunjungi Kampung Jawa Tondano pada bulan October 1831, setelah lebih 1 tahun Kyai Mojo dan pengikutnya berada disana.
Residen Manado menemui dan berbicara dengan Kyai Mojo, dan pada kesempatan itu Residen memberitahukan bahwa tanah yang ditempati Kyai Mojo dan pengikutnya dan tanah yang mereka gunakan untuk bercocok tanam diberikan kepada mereka sebagai pemberian Negara.
Pemerintah Hindia Belanda membeli tanah tersebut dari pemiliknya ( Kepala Walak Distrik Tondano) namun Kepala Walak Distrik Tondano tidak mau dibayar sebagai ganti rugi tanahnya yang diambil oleh Negara untuk penempatan tahanan Negara.
Kepala Walak Distrik Tondano rela memberikan tanahnya kepada Kyai Mojo dan rombongannya.
Disini terlihat bahwa apa yang dilakukan oleh Kepala Walak Distrik Tondano, mencerminkan adanya persahabatan yang sangat erat dan juga sangat menerima kedatangan Kyai Mojo dan rombongan di Tondano.
Kedatangan Kyai Mojo dan pengikutnya yang baru 1 tahun telah menarik hati penduduk asli sekitarnya sehingga penduduk asli menghormati dan mencintai Kyai Mojo.
Hal ini disebakan karena Kyai Mojo dan pengikutnya telah mengajari penduduk setempat ( Alifuru ) bercocok tanam dan persawahan.
Hal ini sesuai kesaksian Residen Manado sewaktu berkunjung kesana dan mengajukan ke pemerintah Hindia Belanda berupa:
Permintaan 22 gulden per bulan atau 264 gulden untuk setiap bulan atau 264 gulden pertahun.
Atas permintaan Residen Manado maka pada tanggal 30 April 1839 No.117 dan rekomendasi Direktur Lands Production en Civil Magazijne tanggal 14 Juni 1839 No.2520, pemerintah memberikan uang sejumlah 500 gulden untuk membeli sapi dan menyewa pembajak untuk mengolah sawah.
Kyai Mojo hidup selama 19 tahun di Kampung Jawa Tondano, dan wafat pada tanggal 20 Desember 1849 pada usia 60 tahun.
Makamnya terletak 2 Km sebelah Timur dari Kampung Jawa Tondano bersama rombongan dan kerabatnya yang berbatasan dengan Desa Wulouan.

Beliau telah meninggalkan ajaran ajaranya bagaimana menjadi manusia yang bermartabat, hidup dalam bermasyarakat yang damai dan harus tetap bekerja dan berusaha.
Melalui Keputusan Pemerintah Republik Indonesia, Kyai Mojo dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Bangsa.

Mengingat Masyarakat Kampung Jawa Tondano lahir dari rombongan Kyai Mojo dan Wanita asli Minahsa, maka dapat dikatakan disini bahwa masyarakat Kampung Jawa Tondano saat ini sudah menjadi Etnis masyarakat Minahasa.
Orang orang Kampung Jawa Tondano selama ini tidak berpikir kalau mereka bukan orang Minahasa.

Makam Kyai Mojo

XI. KAMPUNG JAWA TONDANO
MENJADI TEMPAT PENGASINGAN

Dalam perkembangan selanjutnya Kampung Jawa oleh Belanda menjadi tempat pengasingan para Ulama terkenal yang banyak pengaruhnya dalam pembrontakan melawan Belanda.
Ulama ulama itu antara lain:
1. Dari Aceh.
- Tengku Muhamad , panglima tentara Aceh ( 1895 ).
2. Dari Padang.
- Tuanku Imam Bonjol ( 1840 ), Panglima Perang Padri.

3. Dari Palembang.
- Sayyid Abdullah bin Umar Assagaf ( 1880 ) , orang keturunan Arab bersama istrinya keturunan Eropah, Nelly Meiyer.
Gubernur Gorontalo saat ini, Fadel Mohamad salah satu kerabatnya.

- Tjotrodininggrat ( 1844 ) juga dari Palembang, adalah saudara laki laki dari Sultan Najamuddin Palembang, dimana anak laki lakinya Pangeran Nguren kawin dengan Gadis remboken fam Riet Tombeng.
4. Dari Banten.
- Haji Abdulkarim,Haji Muh. Asnawi,Haji Jaffar,Haji Mardjaya(1911)
5. Dari Surakarta ( Solo ).
- Pangeran Ronggo Danupoyo ( 1905 ), anaknya dari Sunan Pakubuwono IV – Surakarta ( Solo )
6. Dari Kalimantan.
- Gusti Perbatasari ( 1926 ), putra Sultan dari Banjarmasin Kalimantan.
7. Dari Maluku.
- Haji Saparua ( 1900 ) dari Maluku.

Selang beberapa masa yang agak panjang Kampung Jawa di Tondano merupakan salah satu pusat pengkajian ilmu agama Islam terutama penduduk disekeliling Minahasa dan Sulawesi Tengah datang untuk pangkajian agama Islam kepada alim ulama di kampung Jawa Tondano.
Pengkajian ilmu agama tersebut lebih meningkat lagi apabila di Tondano itu oleh Belanda dibuka Sekolah Raja ( Hoofden School ), dimana anak anak raja diseluruh Sulawesi Utara masuk kesekolah tersebut.
Perlu dicatat disini bahwa ada beberapa warga Kampung Jawa berhasil masuk kesekolah Belanda yang hanya diperuntukkan bagi Inlander namanya MULO, sehingga dapat berbicara bahasa Belanda.
Selanjutnya tentang perkembangan Islam di Minahasa, terlebih dahulu hedaknya diketahui bahwa hingga kedatangan Kyai Maja di Minahasa merupakan daerah tertutup bagi dunia Islam.
Dalam logat bahasa Minahasa tiada terdapat sepatah katapun juga yang berasal dari bahasa bahasa Arab, Gujarat atau sangsekerta.
Hal ini disebabkan karena penduduk Minahasa umumnya hidup dipedalaman dan bukan dipesisir sehingga tidak ada kontak dengan duna luar teruatama Islam pada eranya kesultanan Ternate.
Kembali pada penguasaan Belanda terhadap Minahasa tahun 1830, maka Pemerintah Hidia Belanda baru mendatangkan pekabar pekabar Injil langsung dari Belanda dan tiba di Tondano pada tahun 1831 yaitu J.F.Richdel dan J.G.Schwarz.
Jadi berdasarkan data ini maka yang lebih dulu menapakkan kakinya di Tondano Minahasa adalah Islam yaitu Kyai Mojo dan rombongannya.
Bedanya disini adalah Kyai Mojo tiba di Tondano bukan untuk menyiarkan Islam kepada masyarakat Minahasa, melainkan hanya semata mata untuk mempertahankan hidup dan tetap dengan keyakinanya yaitu Islam, sedangkan Belanda datang disamping menguasai Minahasa juga untuk memberikan pekabaran Injil bagi Masyarakat Minahasa dengan segala fasilitas penujangnya.
Lepas dari agama Kristen, suku bangsa Minahasa mempunyai kepercayaan tersendiri yang asli Minahasa yaitu menurut E.V.Adam didalam bukunya ”Kesusastraan Kebudayaan dan Cerita Cerita Peninggalan Minahasa” menulis:

Bahwa segala kepala kepala agama zaman purba Minahasa ( Alifuru ), apabila mereka hadir dalam upacara foso ( korban ) yaitu upacara untuk mempersembahkan sesuatu kepada Yang Maha Tinggi, maka mereka memuji dan memuja untuk menyempurnakan ketaatan mereka sambil kepala kepala agama itu melalukan corak dan bentuk persemahannya menurut ajaran dari Ilah yang pertama dan paling Tua.
Adapun Ila yang pertama dan paling Tua dan paling bijaksana itu adalah KAREMA ( Kadema ).
Menurut cerita bahwa Karema itu masuk dunia ini ia tiada dilahirkan , ia masuk dunia dengan kuasa gaib dan ajaib dengan pribadi sempurna, keluar dari pecahan batu.
Selaku Ilah ia menjadi kepala agama dan mengatur adat istiadat sambil memberikan pelajaran pelajaran.
Mula mula kepada Lumimu’ut dan To’ar.
Perkataan perkataan dan kalimat kalimat memuja dan memuji itu sekaliannya mempertinggi ,mempermulia,menghormati dan menjunjung Yang Maha Tinggi.
Kalimat kalimat itu menanamkan dengan penjelasan paling tepat bahwa adalah satu Ilah yang paling berkuasa yang bergelar:

OPO’ WAILAN WANGKO, OPOMANEMBO NEMBO, OPO RENGA RENGAN, minema tana’ wo langit ( Ilah yang kaya raya dan maha besar, Ilah yang melihat keseluruhan Dunia, Ilah yang lahir dan seumur dengan Dunia, yang sudah ciptakan Bumi dan Langit).

Pertanyaan sejak kapan kepercayaan suku Minahasa ini berawal.
Perhitungan dimulai berdasarka tahun kalender suku Minahasa.
Perhitungannya dimulai pada zaman Pembagian atau zaman PINAWETENGAN UN NUWU bertempat disuatu dataran tinggi dikaki gunung Toundurutan yang sekarang disebut Touderukan.
Untuk mengembalikan kenang kenangan zaman PINAWETENGAN UN NUWU itulah maka didirikan sebuah batu peringatan: “WATU PINAWTENGAN” ( batu tempat pembagian ) yang terletak di negeri Pinabetengan sekarang.
Alasan perhitungannya adalah sebagai berikut:

Tiap 3 garden (derajad) = 100 tahun.
Dalam tahun 1931, maka dalam simpanan beberapa keluarga di Minahasa masih ada silsilah dengan perhitungan 24 derajad.
24 derajad = 8 x 3 derajad = 100 tahun.
8 x 100 tahun + 100 tahun = 900 tahun.
Tahun 1931 dikurangi 900 tahun = 1031 tahun, itulah dimulainya ZAMAN KAREMA, LUMIMU’UT dan TO’AR.
Menurut riwayat, maka orang MINAHASA pertama ialah Lumimu’t seorang wanita.
Lumimu’ut seorang manusia legendaris, diam ditempat yamg bernama Tu’ur in tana’ ( tanah leluhur ).
Ditempat ini secara legendaris pula diceritakan kelahiran anaknya laki laki TO’AR.
Setelah ia dewasa atas sesuatu anjuran, ibu dan anak mengelilingi dunia untuk mencari jodoh masing masing.
Setelah mereka bertemu disuatu tempat mereka mempersamakan tongkat yang ada pada masing masing .
Setelah mereka bertemu disuatu tempat mereka mempersamakan tongkat yang ada pada masing masing ( tongkat tongkat itu terdiri dari batang goloba ( Tuis ) dan ternyata bahwa tongkat tongkat itu tidak sama panjang lagi, maka ini berarti bahwa mereka bukan ibu dan anak, tetapi asing satu sama lain.
Kemudian mereka menjadi suami istri.
Turunan mereka ada banyak sekali yang sekarang ini adalah suku Minahasa.
Oleh karena itu maka tanah Minahasa disebut juga ”TANAH TO’AR DAN LUMIMU’UT”.

XII.INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT
MINAHASA

Masyarakat Kampung Jawa Tondano sudah merupakan satu kesatuan dengan masyarakat Minahasa.
Coba disimak apa kata para kepala Walak Tonsea, OPO RUNTUPALIT RUMBAYAN (OPO’ SOKOMEN) dengan Kepala Walak Tondano, OPO’ TOMBOKAN dalam dialaog berikut ini.

Opo’ Sokomen : Inikah mereka mereka itu orang Jawa yang digambarkan oleh Belanda kepda kita sebagai orang buangan, karena suka melawan dan berontak?
Opo’ Tombokan : Ya, mereka berontak kepada Belanda tetapi tidak terhadap kita.
Lihat saja adat mereka mereka adalah baik baik.
Yang muda muda itu sangat hormat dan turut semua nasihat orang tua tua.
Kita tidak boleh terlalu percaya kepada Belanda, siapa tahu dia mau kasih berkelahi kitaorang dengan orang orang Jawa tadi.
Opo’ Sokomen : Siapa pula lagi yang suka berkelahi dengan orang orang yang selalu bersebahyang itu dan sesudah itu segeralah mereka kepekerjaan masing masing.
Sesungguhnya kita harus mengikuti contoh contoh yang mereka sudah lakukan, terutama tentang bercocok tanam.
Opo’ Tombokan : Saya merasa sangat tertarik kepada orang orang muda Jawa itu yang punya mata tajam semacam mata burung alap alap, sambil menunjuk kepada Ghazali Mojo, anaknya Kyai Mojo.
Opo’ Sokomen : Tetapi itu pemuda Tumenggung Sis yang punya urat kawat tulang besi itu dalam segala hal sangat mengagumkan.
Dia sedikit bicara banyak bekerja.

Akhirnya dikemudian hari Kyai Ghazali Mojo menjadi anak mantu Opo Tombokan dan Tumenggung Sis Pajang menjadi anak mantu dari Opo Sokomen Rumbayan.
Adapun pandangan dari pada dialog diatas tidak mungkin keliru, karena seseorang yang menjabat Kepala Walak sekaligus ia adalah Pengetua Adat yang disegani dan dihormati.
Adat Minahasa adalah:
“I PA TU TUA PELE PELENG, I PATU TUA NI BAYA WAYA”
Orang tua dihormati oleh yang muda muda dan menuruti nasihat nasihat.
Ini adalah tanda tanda budi pekerti yang tinggi.
Selanjutnya oleh karena persahabatan Kyai Mojo dengan Kepala Walak Tonsea dan Tondano semakin erat, disuatu saat dia menyampaikan lamaran kepada Opo Sokomen untuk melamar putri bungsunya yang bernama Wurenga ,umur 17 tahun bagi senopatinya Tumenggung Zees Pajang secara Islam yang umurnya 20 tahun. , dan peminangan akan dilakukan oleh tuan Residen dari Manado.
Walaupun Opo Sokomen yag fanatik keras dengan adat Minahasa dan berfikir keras mengenai “secara Islam” tapi akhirnya dia menyetujui maksud itu karena sudah lama Opo Sokemen mengaguminya dan juga putrinya ada menaruh hati.
Demikianlah, maka residen Pietermaat tidak membohongi kata katanya dahulu, segeralah dia dengan menunggang kudanya diikuti oleh ajudannya menuju Tonsea Lama untuk melakukan peminangan kepada Pangatua Adat Walak Tonsea Runtupalit Rumbayan, memperjodohkan pemuda Tumenggung Sis Pajang dan putri bungsu Opo Sokomen, Wurenga.
Dan sebagai oleh oleh untuk kedua calon pengantin itu residen Pietermaat menghadiakan seperangkat pakaian kawin kha kraton Jokyakarta yang telah dipesan melalui reside Joyakarta Van Nes.
Sebelum pesta dilangsungkan maka Runtupalit Rumbayan mengundang kaum krabatnya yang berada di Kema, Amurang.
Maka datanglah memenuhi undangannya yaitu Opo Tumbelaka bersama keluarganya dari Amurang termasuk dua putrinya.
Demikian juga yang hadir adalah Penetua adat Toulour ( touliang-Toulimabot ) diantaranya terdapat Opo’Tombokan beserta keluarganya dan putrinya bernama Ringkingan.
Maka pesta perkawinan itu dilaksanakan secara Islam, berlangsung dirayakan, dengan menurut adat istiadat Minahasa disatu pihak dan adat Jawa dipihak lain selama tujuh hari tujuh malam.
Perayaan dimeriahkan dengan tarian Maengket dan Masambo yang dibawakan oleh Tona’as Tona’as sebagai dalang dan diikuti oleh masyarakat sekitarnya dimana terdapat puluhan gadis gadis Minahasa yang cantik cantik, dan tarian tarian Jawa.
Adegen adgen itu yang telah dipertontonkan telah membuat gadis gadis lainnya terpesona dan terjadilah perkawinan selanjutnya.

Kyai Ghazali Mojo putra Kyai Mojo dengan putri gadis terbungsu Opo’ Tombokan, pendiri Negri Tondano di Papal ( Uluna ), hulu sungai Tondano bagian Barat ( Tondano Tua ).
Tumenggung Reksonegoro Kyai Pulukadang dengan salah seorang putri Opo’ Tumbelaka dari Amurang ( Minahasa Selatan ).
Tumenggung Bratayudo dengan salah satu putri Opo’ Tumbelaka juga.
Ngiso (Isa) Pulukadang dengan putri dari Opo’Pakasi Warouw.
Dan masih beberapa lagi pemuda dari rombongan yang kawin dengan gadis gadis Minahasa.
Dengan demikaian maka nama nama kelurga ( marga, Fam ) seperti : Wagey, Maukar, Ranti, Ratulangi, Kawilarang, Kumaunang telah mengasimiliser dengan nama nama dari orang Jawa itu.
Didalam perkembangan selanjutnya menyusul nama nama fam, Malonda, Lengkong,Supit,Karinda,dan masih banyak lagi.
Masyarakat Kampung Jawa Tondano, mengikuti kebudayaan Minahasa dengan memakai nama Fam ( Marga ) dibelakang namanya, tidak seperti di Jawa ( tidak memakai Marga ).

XII. POPULASI PENDUDUK
KAMPUNG JAWA TONDANO.

Berdasarkan data data dan sensus penduduk maka populasi penduduk Kampung Jawa Tondano adalah sebagai berikut:

1830 - 60
1846 - 273
1854 - 315
1902 - 1300
1965 - 2015
1976 - 2120
2007 – diperkirakan saat ini 50.000 Orang dengan uraian:
5.000 orang Di Kampung Jawa Tondano.
20.000 orang tersebar dibeberapa daerah Minahasa seperti Manado,Pineleng,Sarongsong,Winetin,Doloduo,Tumpaan,Bitung.
25.000 orang diluar Minahasa, Gorontalo, Maluku, Jakarta, serta di daerah lain di Indonesia.
Dengan adanya data ini kalau diuruti sejak kedatangan pertama kali, dimana jumlahnya hanya 60 orang atau hanya sekitar 0,001% dari seluruh penduduk Minahasa pada waktu itu yang berjumlah 80.000 orang.
Saat ini peta Minahasa sudah berubah, dimana jumlah penduduk Kampung Jawa Tondano yang ada di Minahasa sudah berjumlah 25.000 orang dari total 304.298*) orang penduduk Kabupaten Minahasa ( Induk ) atau sekitar 8,2%.

*) Sumber Pemda Kabupaten Minahasa ( Induk )

PENDUDUK KABUPATEN MINAHASA
Jumlah penduduk Kabupaten Minahasa sampai dengan bulan Juni tahun 2006 ,adalah 304.298 Jiwa.
kabupaten Minahasa memiliki masyarakat dengan dominasi etnis minahasa yang mendiami daerah pegunungan dan pesisir yang tersebar dalam 18 kecamatan.
Jumlah penduduk dan kepadatannya menurut kecamatan adalah sebagai berikut :

KECAMATAN JUMLAH
PENDUDUK KEPADATAN
PER KM
TONDANO UTARA 10.064 374
TONDANO BARAT 18.588 547
TONDANO SELATAN 17.196 126
TONDANO TIMUR 13.903 381
LANGOWAN BARAT 18.873 364
LANGOWAN SELATAN 8.057 15
LANGOWAN TIMUR 17.773 130
KAKAS 22.177 184
TOMPASO 14.535 491
REMBOKEN 11.488 202
KAWANGKOAN 26.218 532
TOMBARIRI 25.512 180
SONDER 18.114 319
ERIS 12.843 320
LEMBEAN TIMUR 8.855 131
KOMBI 11.133 92
PINELENG 34.822 250
TOMBULU 14.147 164
JUMLAH 304.298 273

XIII. EXPANSI KAMPUNG JAWA TONDANO

Mengingat jumlah penduduk Kampung Jawa Tondano bertambah, sedangkan lahannya hanya itu itu saja, masih seperti dulu, maka masyarakat Kampung Jawa harus mencari alternatif untuk mencari tempat tinggal.
Dapat dijelaskan disini bahwa masyarakat Kampung Jawa Tondano sejak dulu sampai sekarang tidak pernah melakukan usaha usaha untuk memperluas lahan Kampungnya, oleh karena adanya SALING MENGHORMATI TETANGA TETANGGANYA.
Maka beberapa waktu kemudian dengan adanya hubungan yang sangat baik dengan masyarakat Minahasa sekitarnya dan juga dalam usaha perdagangan maka kampung Jawa kecil bermunculan antara lain:

1. Di desa Lotak dan diberi nama Pineleng.

2. Disebelah Utara Kampung Jawa, yang berdekatan dengan Tonsea Lama yaitu Tegal Rejo.

3. Di sebelah Timur Pegunungan Lembean dan diberi nama menurut bahasa daerah Tonsea “Winetin” artinya dipilih.

4. Disebelah Barat Daya pegunungan Masarang di Tomohon diberi nama “Sarongsong” artinya mata air.

5. Di Tuminting disebelah Utara Manado diberi nama Sumompo.

6. Yang terbesar adalah exodus ke Gorontalo yaitu di Kampung Reksonegoro dan Kampung Yosonegoro, dan walaupun mereka di Gorontalo bahasa mereka sehari hari adalah bahasa Tondano.

7. Di Amurang Minahasa Selatan yaitu di Tumpaan.

8. Di Tompaso Baru Minahasa Selatan yang berbatasan dengan Bolaang Mongondow ( Bojonegoro ), pada waktu program Kolonisasi – Watuseke ( 1924 ).

9. Di Dolodu’o – Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow.

10. Di Jailolo Halmehera – Maluku.

11. Di Bitung didesa Girian.

(www.paguyubanpulukadang.com)

Kabupaten Kepulauan Sangihe

Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud pada tahun 2000. Ibu kota kabupaten ini adalah Tahuna. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.012,94 km² dan berpenduduk sebanyak 129.609 (2008).

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2007, sebagian wilayah Kabupaten Sangihe dimekarkan menjadi kabupaten baru, yaitu Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro atau disingkat Kabupaten Sitaro, yang diresmikan pada tanggal 23 Mei 2007.

Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak di antara Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindanao (Filipina), serta berada di bibir Samudera Pasifik. Wilayah kabupaten ini meliputi 3 klaster, yaitu Klaster Tatoareng, Klaster Sangihe, dan Klaster Perbatasan.

Sangihe Talaud, adalah sebuah kepualauan di barat laut pulau Sulawesi, dekat dengan pulau Mindanao wilayah Filipina.

Ibukota: Tahuna
Wilayah: 2.263,95 km²
Penduduk: 300.000 jiwa.
Provinsi:Sulawesi Utara

Asal Usul Sulawesi Utara

TOAR DAN LUMIMUUT


Versi: Aneke Sumarauw Pangkerego

Dahulu kala, di pantai barat Pengunungan Wulur Mahatus terdapat sebuah batu karang yang bagus bentuknya. Batu karang itu tidak dihiraukan orang karena memang belum ada manusia di sekitarnya.

Suatu ketika dimusim kemarau, cahaya matahari begitu menyengat sehingga batu karang itu mengeluarkan keringat. Pada saat itu pula, terciptalah seorang wanita yang cantik. Namanya Karema, Ia berdiri sambil menadahkan tangan ke langit dan berdoa, “O, Kasuruan Opo e wailan wangko.” Artinya “Oh Tuhan yang maha besar, jika Kau berkenan, nyatakanlah di mana aku berada serta berikanlah teman hidup untukku”.

Setelah selesai mengucapkan doa, batu karang itupun terbelah menjadi dua dan mencullah seorang wanita cantik. Karema pun tidak sendiri lagi. Ia berkata kepada wanita itu, “Karena kau tercipta dari batu yang berkeringat, engkau kuberi nama Lumimuut., Keturunanmu akan hidup sepanjang masa dan bertambah seperti pasir di pantai laut, Akan tetapi, kamu harus bekerja keras memeras keringat”.

Pada suatu hari, Karema menyuruh putrinya yang cantik molek itu menghadap ke selatan agar ia hamil dan memberikan keturunan. Lumimuut pun melaksanakan perintah ibunya, tetapi tidak terjadi suatu apapun, Karena ke arah selatan tidak berhasil, Lumimuut disuruh mengadap ke arah timur, barat, dan utara. Hal inipun didak membawa hasil.

Kemudian upacara diadakan lagi. Lumimuut disuruh menghadap kearah barat yang sedang berembus angin kencang. Lama-kelamaan, setelah upacara selesai, badan Lumimuut menjadi lain. Ternyata Lumimuut sudah hamil.

Selama hamil, Lumimuut selalu dijaga dan dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Karema. Ketika saatnya tiba, Lumimuut pun melahirkan anak laki laki yang diberi nama Toar. Toar pun diberi pengetahuan dan kemampuan seperti yang dimiliki Karema.

Pertumbuhan badan toar sangat cepat. Bentuk tubuhnya besar, kuat, kekar, dan perkasa. Di belantara hutan, Toar tidak takut dan tidak dapat ditaklukkan oleh anoa, babi rusa, maupun ular.

Setelah Toar dewasa, berkatalah Karema kepada Toar dan Lumimuut, “Sekarang sudah saatnya kalian berdua mengembara mengelilingi dunia. Aku sudah menyediakan dua tongkat sama panjang. Tongkat untuk Toar terbuat dari pohon tuis dan tongkat untuk Lumimuut terbuat dari pohon tawaang. Kalau nanti dalam pengembaraan, kalian bertemu dengan seseorang baik pria maupun wanita membawa tongkat seperti ini, bandingkanlah dengan tongkat kalian. Kalau tongkat kalian sama panjang, berarti kalian masih terikat keluarga. Akan tetapi, bila tongkat itu berbeda dan tidak lagi sama panjang, kalian boleh membentuk rumah tangga. Semoga hal ini terjadi dan kalian akan menghasilkan keturunan. Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.”

Nuwu (amanat) Karema menjadi bekal bagi Lumimuut dan Toar dalam pengembaraan mereka. Gunung dan bukit mereka daki Lembah dan ngarai mereka lalui. Toar ke arah utara dan Lumimuut ke arah selatan. Tuis di tangan Toar bertambah panjang, tetapi tawaang di tangan Lumimuut tetap seperti biasa,

Pada suatu malam bulan purnama, di tengah kilauan sinar bulan, bertemulah Toar dengan Lumimuut. Sesuai amanat Karema, merekapun membandingkan tongkat masing masing. Ternyata, tongkat mereka tidak sama panjang lagi sehingga upacara pernikahan pun dilaksanakan. Bintang dan bulan sebagai saksi. Puncak gunung tempat pelaksanaan upacara tampak bagaikan bola emas. Gunung itu kemudian dinamakan Lolombulan.

Setelah upacara pernikahan, mereka pun mencari Karema. Akan tetapi, ia tidak ditemukan. Kemudian, mereka menetap di daerah pegunungan yang banyak ditumbuhi buluh tui (buluh kecil). Disanalah mereka beranak cucu. Keturunan demi keturunan, kembar sembilan (semakarua siyouw), dua kali sembilan. Kelahiran keturunan itu selalu disambut bunyi siul burung wala (doyot) yang dipercaya sebagai pertanda memperoleh limpah dan berkat karunia.



Kesimpulan:

Cerita ini dapat digolongkan pada legenda. Banyak penduduk Minahasa menganggap cerita ini sebagai suatu kebenaran walaupun untuk membuktikan kebenarannya hampir tidak mungkin. Pesan moral yang terkandung dalam cerita ini adalah hendaknya kita ingat petuah orang tua. Selain itu, walaupun kita wanita cantik atau pemuda perkasa, kendaklah kita selalu bekerja keras agar dapat hidup layak.



Dipetik dari: Buku Cerita rakyat dari Minahasa.

Oleh: Aneke Sumarauw Pangkerego

Ebook Sejarah Permesta

Download gratis sekarang juga ebook sejarah permesta. Disini anda akan mengetahui sepak terjang permesta yang dibilang pemberontak oleh pemerintah pusat, namun akhirnya di akui.

Sebenarnya ebook ini hanya rangkuman, namun cukup lengkap. So dengan membaca buku ini anda akan tau tujuan permesta sebagai bangsa yang tidak ingin di bawah pemerintah pusat. Namun ingin di atas yang pada akhirnya dikabulkan oleh pemerintah pusat.

Perlu diketahui dari dulu Minahasa tidak pernah menjadi ekor selalu menjadi kepala. Mangkannya tidak pernah ada kerajaan di Minahasa karena semua orang adalah kepala.

sejarah permesta

Silahkan Download berikut Link ya :

http://www.ziddu.com/download/2932412/sejarah_permestamanadominahasa.blogspot.com.pdf.html

WISA TOROANTA

“WISA TOROANTA”
Cipt.ibu Betji Agusta Wullur Sundalangi

Wisa `nangean'ta, pepatoroan'ta
Sa wo un nate `ta, masusah merawoy
Uremo wo ure, `ngkakelang kelang'ta
Dai mekeeilek kaleosan
Reff :`ko tuduan, tuduan'ku (lalan kendis)
mai wia si Empung, sumawang ni kita
si dai mawendu, si dai merawoy sumawang
ni kita tou,

WATU PINAWETENGEN

WATU PINAWETENGEN

Minahasa merupakan salah satu bagian dari wilayah Prov. Sulawesi Utara, dimana sebelum dinamakan Minahasa, wilayah ini dikenal dengan nama tanah MALESUNG.

Keadaan geografi tanah malesung terdiri dari pegunungan dataran tinggi serta bukit-bukit. Menurut sejarah pada tahun 1428 menunjukan bahwa penduduk tanah Malesung pemukimannya terpencar-pencar dan hidup berkelompok sehingga satu sama lain tidak bisa berkomunikasi terlebih tidak ada saling bantu membantu dalam hidup kebersamaan, hal ini sering terjadi dikala para penduduk ini mempertahankan wilayahnya dari serangan / pengacau yang datang seringkali gagal, demikian halnya pada saat mereka mengolah pertanian atau lebih sering pada saat berburu selalu terjadi pertentangan karena ada penduduk yang telah memasuki wilayah lain sehingga masing-masing saling mempertahankan wilayahnya.

Menyadari akan hal ini sering terjadi permasalahan maka oleh leluhur atau para tonaas tanah malesung mencari suatu tempat untuk diadakan pertemuan para pemimpin suku guna mencari solusi mengatasi masalah yang terjadi di tanah Malesung, dan setelah mereka mencari tempat maka didapatlah suatu tempat yang terletak disebuah bukit yang bernama bukit Tonderukan nama lokasi ini ditemukan oleh J.G.F. Riedel pada tahun 1881 yang berdasarkan ceritera rakyat disebut “ Watu Rerumeran ne Empung “ atau batu batu tempat para leluhur berunding yang mana disitu terdapat sebuah batu besar dan ditempat inilah berkumpul para pemimpin sub etnis Tou Malesung berikrar untuk menjadi sastu yakni menjadi satu Tou Minahasa sebuah kata yang berarti “ Mina “ (menjadi), “ Esa “ (satu) dalam perkembangannya sehingga tercetuslah menjadi MINAHASA.

Watu Pinawetengan dalam sejarah sampai saat ini banyak penafsiran-penafsiran yang timbul melalui penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti yang antaranya mengataka bahwa Watu Pinawetengan itu adalah :

Tempat pertemuan para pemimpin Sub Etnis Minahasa untuk membagi-bagi Wilayah dan bahasa masing-masing etnis
Sebagai tempat pertemuan para pemimpin sub Etnis untuk bermusyawarah menjadikan tanah Minahasa
Sebagai tempat berunding para leluhur
Tempat berikrar untuk bersatu melawan gangguan dari luar seperti Tasikela (Spanyol) dll.
Melihat beberapa pandangan tentang pengertian dan fungsi Watu Pinawetengan maka dapat disimpulkan bahwa Watu Pinawetengan merupakan suatu tempat berunding para pemimpin sub etnik yang ada di Minahasa untuk berikrar bahwa sub etnik di Minahasa walaupun hidup berkelompok tapi berstu untuk menghalau para pengacau dari luar serta membangun wilayah-wilayah yang ada di Minahasa yang ditandai dengan coretan-coretan yang ada diatas patu tersebut..

Watu Pinawetengan sampai saat ini tidak akan dilupakan oleh Tou Minahasa baik yang tinggal di Minahasa maupun yang di luar Minahasa karena tempat ini merupakan legenda hidup masyarakat Minahasa yang memiliki nilai sacral sehingga tidak akan hilang dari hati Tou Minahasa

Airmadidi. Merunut namanya, ‘airmadidi' berarti air mendidih. Nama yang diberikan buat mata air panas berkhasiat membersihkan kulit. Sebuah tempat legendaris dekat Tomohona --sekitar satu jam dari Manado, ibukota provinsi Sulawesi Utara-- di mana pernah ada sembilan bidadari mandi saat bulan purnama dan satu dari mereka kehilangan bajunya hingga tak bisa pulang ke kayangan -mengingatkan saya pada legenda Nawangwulan dan Jaka Tarub dalam khazanah folklore Jawa.

Tapi ketertarikan saya di sini bukan bidadarinya, justru makam zaman kunonya. Tepatnya berlokasi di kawasan Airmadidi Bawah. Di tempat ini terdapat kompleks pemakaman pre-Christian atau masa sebelum Kristen masuk ke Manado, yang disebut waruga.
Berupa peti-peti kubur yang terbuat dari batu dan tidak ditanam dalam tanah, tapi diletakkan di atas tanah lapang. Bentuknya bisa persegi panjang atau kubus, dengan ketinggian berkisar 150 cm di atas tanah. Pada bagian atapnya dipahat aneka ragam hias yang menggambarkan wajah pria, dewa-dewa maupun atap rumah.

Menurut kepercayaan setempat di masa itu, orang wafat harus ‘dipulangkan' ke alam baka sebagaimana posisinya dalam rahim. Hingga mereka tidak berbaring telentang, tapi dibuat dalam kondisi seperti janin, yaitu meringkuk atau disebut foetal position.

Urut-urutannya, jenazah disucikan dan diberi mantra serta sesaji. Lantas diarak keliling desa sebanyak tiga kali yang melambangkan perpisahannya dengan dunia fana, lalu posisinya dibuat seperti janin dan dimasukkan ke dalam waruga beserta barang-barang pendamping kesehariannya. Seperti senjata tradisional atau peranti kerjanya. Juga disertakan emas dan berbagai perhiasan yang dipercaya tetap akan ia gunakan di alam baru nanti.

Masyakarat kawasan ini senantiasa menggunakan waruga sebagai sarana pemakaman sanak keluarga mereka sampai sekitar abad ke-17. Baru berakhir ketika pemerintah Hindia Belanda melakukan larangan pemakaian makam waruga ketika terjangkit wabah penyakit, yang diduga kaum penjajah endeminya berasal dari jasad yang tidak dikubur dalam tanah.

Waruga

Waruga, Rumah bagi Badan yang Akan Hancur


Kompas/agus susanto

JIKA Anda pencinta komik Asterix, Anda pasti mengenal si gendut Obelix yang mampu mengangkut sebongkah besar batu megalitik di balik punggungnya. Anda boleh terkikik melihat ulah konyol Obelix yang doyan makan itu.Tawa terkikik Anda akan berganti decak kagum nyaris tidak percaya, saat Anda mendengar kisah betapa sakti dan perkasanya orang-orang kuno Minahasa yang hidup pada zaman megalitik hingga 150-an tahun lalu di jazirah utara Pulau Sulawesi. Mereka dipercaya dapat mengetahui kapan hidup mereka akan berakhir, dan sehubungan dengan itu mereka mengangkat sendiri bongkah batu besar untuk kuburan mereka.
Dengan tangan kanan memegang batu yang disunggi di atas kepala, sambil berjalan kaki menuju ke tempat yang mereka tentukan sendiri sebagai lokasi kubur, tangan kiri mereka menangkap ikan di sungai-dengan tangan kosong. Setelah sampai di tempat yang mereka pilih, batu itu akan menjadi kuburan si pembawanya.

Kuburan batu berukuran lebar 50 cm hingga satu meter, panjang 50 cm hingga satu meter, dan tinggi sekitar satu meter itu disebut waruga. Balok batu tersebut berongga, dan di dalam rongga itulah orang-orang kuno Minahasa dikubur dalam posisi jongkok. Sebagai penutup bagian atas, digunakan cungkup yang berukir atau berpahat keterangan atau profesi si mayat sebelum meninggal.

Cungkup berpahat atau berukir binatang menandakan mayat yang dikubur di dalam waruga itu semasa hidupnya adalah seorang pemburu. Cungkup bermotif perempuan yang sedang melahirkan menandakan mayat yang dikubur di dalam waruga tersebut semasa hidupnya adalah seorang dukun beranak. Sementara, cungkup yang bermotif beberapa orang sekaligus menandakan yang dikubur di dalam waruga itu adalah satu keluarga utuh, yang meninggal dan dikubur satu persatu.

Ada pula cungkup yang polos, tanpa ukiran dan pahatan apa pun. Cungkup polos itu menandakan waruga berusia jauh lebih tua dibandingkan waruga lainnya, berusia lebih dari 1.200 tahun. Pada zaman itu, budaya mengukir dan memahat cungkup dengan keterangan atau profesi belumlah "ngetrend".

Di dalam setiap waruga, si jenazah dikubur dalam posisi jongkok di atas benda-benda bekal kuburan, yang dapat berupa parang, gelang, manik-manik, piring, padi, uang benggol, mangkuk, sendok, kolintang, dan beberapa benda lain. Namun, kini tidak ada lagi benda-benda bekal kuburan yang dapat dijumpai di dalam waruga, karena benda-benda itu sudah diamankan di museum.

Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga merupakan gabungan dari dua kata, yakni wale dan maruga. Wale berati rumah, dan maruga berarti badan yang akan menjadi hancur. Sementara, posisi jongkok mayat yang dikubur di dalam waruga erat kaitannya dengan posisi bayi yang jongkok di dalam rahim ibu. Filosofinya, manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok, dan semestinya mengakhiri hidup dengan jongkok pula. Dalam bahasa setempat, filosofi ini disebut whom.

Di seluruh Minahasa tersebar sekitar 1.700 waruga di beberapa kompleks waruga, yang terkonsentrasi di bagian utara Minahasa. Sebagian besar waruga merupakan kuburan prajurit perang (waraney) dan tokoh masyarakat (walian). Dua kompleks waruga terbesar adalah kompleks waruga Airmadidi Bawah dan kompleks waruga Sawangan. Keduanya berada di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Di kompleks Airmadidi Bawah terdapat 153 waruga, dengan waruga termuda bertanggal wafat 26 Juli 1947. Sebanyak 152 waruga berjejer dalam 10 baris dengan jarak antar-waruga sekitar 2-3 meter. Sebuah waruga terbesar berdiri menyendiri di bagian depan, di sebuah pendopo permanen. Waruga tersebut adalah kuburan Opo Wagiu bergelar Timani Oeng Koemelemboeai, yang dalam bahasa Tonsea berarti penemu kampung yang memancarkan air dari dalam tanah-yang kemudian disebut airmadidi.

Warga setempat percaya, Opo Wagiu adalah salah seorang dari sembilan dotu (utusan Toar Lumimuut, nenek moyang orang Minahasa). Di Watu Pinawetengan, Toar Lumimuut memerintahkan kesembilan dotu itu untuk menyebar ke sembilan daerah untuk masing-masing memimpin satu suku. Namun, hingga saat ini tidak ada satu pun catatan resmi siapa saja kesembilan dotu itu.

Menurut Johan Mandagi, juru kunci kompleks waruga Airmadidi Bawah yang dijumpai akhir April lalu, ke-153 waruga itu masih berada pada posisi awal saat waruga-waruga itu ditemukan, tanpa perubahan letak dan pemindahan. Pemugaran tahun 1998 hanya dilakukan untuk mengangkat benda-benda bekal kubur, yang selanjutnya disimpan di museum yang berada di sebelah kompleks waruga.

Kini, hanya waruga Opo Wagiu saja yang masih memiliki bekal kubur.

Di museum yang dibuat seadanya itu (berupa sebuah rumah panggung kayu), benda-benda bersejarah tersebut hanya dibungkus plastik kresek warna hitam dan digeletakkan di lantai. Di antara benda-benda bekal kubur yang diangkat dari waruga itu, Johan menunjukkan uang benggol menunjukkan angka tahun 1650.

Tidak ada pagar yang mengelilingi museum, tidak ada rak kaca untuk memajang benda-benda bersejarah itu, dan tidak ada sambungan listrik untuk menerangi museum. "Saya percaya ada KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dalam pemugaran yang dilakukan tahun 1998. Coba ngana lihat sendiri, barang-barang ini tidak terurus. Kalau malam gelap gulita. Biar saja, kalau hilang dicuri orang, torang punya alasan... habis gelap, bagaimana lagi?" kata Johan, yang sudah 23 tahun menjadi juru kunci di sana.

Di samping itu, tambah Johan, kompleks waruga tersebut tidak mempunyai WC umum sebagaimana yang dijanjikan pada awal proyek pemugaran. "Turis-turis yang datang harus numpang buang air di rumah seorang penduduk, pinjam de pe WC. Kalau terus-terusan begitu, itu merepotkan orang toh?" sambungnya.

***
SEKITAR empat kilometer dari kompleks waruga Airmadidi Bawah, terdapat kompleks waruga tidak terurus di Kelurahan Raprap. Di sana berdiri 33 waruga, yang sebagian besar sudah tertutup ilalang dan tanaman merambat. Tahi sapi dari yang masih basah hingga yang sudah kering berserak di sana-sini. Kawat berduri yang memagari kompleks waruga itu pun sudah doyong dan berantakan. Di antara waruga-waruga itu, terdapat waruga berukirkan nama Opo Mingki Koemekoko. Itulah satu-satunya waruga yang memiliki nama.

Menurut pemuda setempat bernama Kris Karamoy, pemerintah daerah dan warga Raprap memang tidak mengurusi waruga tersebut. "Dulu, ada Opa Maxi Wenas yang mengurus waruga-waruga ini. Sepeninggal Opa Maxi tahun 2001, tidak ada yang menggantikannya. Warga di sini taat beribadah, sehingga tidak mengurusi waruga-waruga ini. Waruga dianggap berhubungan dengan hal-hal mistis," paparnya.

Menurut Kris, waruga-waruga di Kelurahan Raprap itu adalah waruga-waruga tertua di Minahasa. Awalnya, waruga-waruga tersebut tersebar di Kecamatan Airmadidi. Baru pada sekitar tahun 1970 waruga-waruga itu dikumpulkan di Keluarahan Raprap. "Itu atas prakarsa Gubernur HV Worang, yang memang punya kepedulian besar terhadap adat-istiadat kuno Minahasa," kata Kris.

Meskipun sudah taat beribadah dan hal itu menjadi alasan warga setempat membengkalaikan kompleks waruga itu, hingga saat ini warga Kelurahan Raprap masih percaya akan khasiat benalu yang tumbuh di pohon dudi. Benalu tersebut hanya tumbuh di pohon dudi, yang ada persis di sebelah waruga Opo Mingki. Benalu itu sama sekali tidak dijumpai pada pohon-pohon lain di sekitar kompleks kuburan batu tersebut, yang didominasi oleh pohon duku dan langsat.
***

BERBEDA dengan kompleks Airmadidi Bawah, kompleks waruga Sawangan berikut museumnya telah tertata dengan baik. Jika Anda mengira nama Sawangan tersebut ada kaitannya dengan sebuah daerah yang juga bernama Sawangan di Bogor (Jawa Barat), Anda benar. Nama Sawangan yang ada di Bogor memang berasal dari nama Sawangan di Minahasa, yang artinya hidup gotong royong. Tokoh setempat yang bernama Jusuf Mantiri-lah yang membawa nama Sawangan ke Bogor, menjadikannya sebagai nama sebuah daerah di kota hujan itu.

Di kompleks waruga Sawangan terdapat 144 waruga, termasuk waruga Jusuf Mantiri yang berdinding kaca. Juru kunci kompleks waruga Sawangan, seorang wanita bertubuh besar bernama Olce Kambong menjelaskan, ke-144 waruga itu berasal dari tempat-tempat yang berbeda. Waruga-waruga itu dikumpulkan pemerintah dan disatukan di kompleks tersebut pada tahun 1817.

Dengan fasih Olce menerangkan, mulai tahun 1800 penguburan mayat di dalam waruga dilarang pemerintah, karena waktu itu mulai berjangkit penyakit tipus dan kolera. "Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus dan kolera, melalui celah yang terdapat di antara badan waruga dan cungkup waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen yang mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa," jelasnya.
Di Sawangan, masih terdapat waruga bercungkup polos (tanpa ukiran dan pahatan), yang sudah berusia sekitar 1.200 tahun. Sementara, waruga yang cungkupnya bermotif berusia 400-500 tahun. Salah satu waruga di sana memiliki motif cungkup perempuan sedang melahirkan. "Itu bukan berarti si mayat meninggal di saat melahirkan, melainkan sepanjang hidupnya dia adalah bidan (dukun beranak). Sampai sekarang, ibu-ibu yang susah mendapatkan keturunan sering berziarah di waruga bidan tersebut, dan memohon diberi kemudahan mendapatkan anak.

Banyak permohonan terkabul," kata Olce.
Bisa Anda bayangkan, betapa perkasanya seorang perempuan dukun beranak berjalan kaki mengangkat sebongkah batu besar untuk kuburnya sendiri?

By: Jessy Wenas

Pemimpin Minahasa jaman tempo dulu terdiri dari dua golongan yakni Walian dan Tona’as. Walian mempunyai asal kata “Wali” yang artinya mengantar jalan bersama dan memberi perlindungan.

Golongan ini mengatur upacara agama asli Minahasa hingga disebut golongan Pendeta. Mereka ahli membaca tanta-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan dan matahari dengan patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang tertentu seperti “Kateluan” (bintang tiga), “Tetepi” (Meteor) dan sebagainya untuk menentukan musim menanam. Menghafal urutan silsilah sampai puluhan generasi lalu, menghafal ceritera-ceritera dari leluhur-leluhur Minahasa yang terkenal dimasa lalu.

Ahli kerajinan membuat pelaratan rumah tangga seperti menenun kain, mengayam tikar, keranjang, sendok kayu, gayung air.

Golongan kedua adalah golongan Tona’as yang mempunyai kata asal “Ta’as”. Kata ini diambil dari nama pohon kayu yang besar dan tumbuh lurus keatas dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan kayu-kayuan seperti hutan, rumah, senjata tombak, pedang dan panah, perahu. Selain itu golongan Tona’as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-rumah itu dibangun untuk membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka juga yang menjaga keamanan negeri maupun urusan berperang.

Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa berbentuk Matriargat (hukum ke-ibuan). Bentuk ini digambarkan bahwa golongan Walian wanita yang berkuasa untuk menjalankan pemerintahan “Makarua Siouw” (9x2) sama dengan Dewan 18 orang leluhur dari tiga Pakasa’an (Kesatuan Walak-Walak Purba).

Enam leluhur dari Tongkimbut (Tontemboan sekarang) adalah Ramubene, suaminya Mandei, Riwuatan Tinontong (penenun), suaminya Makaliwe berdiam di wilayah yang sekarang Mongondouw, Pinu’puran, suaminya Mangalu’un (Kalu’un sama dengan sembilan gadis penari), Rukul suaminya bernama Suawa berdiam di wilayah yang sekarang Gorontalo, Lawi Wene suaminya Manambe’an (dewa angin barat) Sambe’ang artinya larangan (posan). Maka Roya (penyanyi Mareindeng) suaminya bernama Manawa’ang.

Sedangkan enam leluhur yang berasal dari Tombulu adalah : Katiwi dengan suaminya Rumengan (gunung Mahawu), Katiambilingan dengan suaminya Pinontoan (Gunung Lokon), Winene’an dengan suaminya Manarangsang (Gunung Wawo), Taretinimbang dengan suaminya Makawalang (gunung Masarang), Wowriei dengan suaminya Tingkulengdengan (dewa pembuat rumah, dewa musik kolintang kayu) Pahizangen dengan suaminya Kumiwel ahli penyakit dari Sarangsong.

Sementara itu enam leluhur yang berasal dari Tontewo (wilayah timur Minahasa) terdiri dari Mangatupat dengan suaminya Manalea (dewa angin timur), Poriwuan bersuami Soputan (gunung Soputan), Mongindouan dengan suaminya Winawatan di wilayah Paniki, Inawatan dengan suaminya Kuambong (dewa anwan rendah atau kabut), Manambeka (sambeka sama dengan kayu bakar di pantai) dewa angin utara, istrinya tidak diketahui namanya kemudian istri Lolombulan. Pemimpin panglima perang pada jaman pemerintahan golongan Walian adalah anak lelaki Katiwei (istri Rumengan) bernama Totokai yang menikah dengan Warangkiran puteri dari Ambilingan (istri Pinontoan).

Pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa – yang sebelumnya dipegang golongan Walian wanita - beralih ke pemerintahan golongan Tona’as Pria. Mulai dari sini masyarakat Matriargat Minahasa yang tadinya menurut hukum ke-Ibuan berubah menjadi masyarakat Patriargat (hukum ke-Bapaan)., Menjalankan pemerintahan “Makatelu pitu (3x7=21)" atau Dewan 21 orang leluhur pria.

Wakil-wakil dari tiga Pakasa’an Toungkimbut, Toumbulu, Tountowo, mereka adalah ; Kumokomba yang dilantik menjadi Muntu-Untu sebagai pemimpin oleh ketua dewan tua-tua “Potuosan” bernama Kopero dari Tumaratas. Mainalo dari Tounsea sebagai wakil, Siouw Kurur asal Pinaras sebagai penghubung dibantu Rumimbu’uk (Kema) dan Tumewang (Tondano) Marinoya kepala Walian, Mio-Ioh kepala pengadilan dibantu Tamatular (Tomohon) dan Tumilaar (Tounsea), Mamarimbing ahli meramal mendengar bunyi burung, Rumoyong Porong panglima angkatan laut di pulau Lembe, Pangerapan di Pulisan pelayaran perahu, Ponto Mandolang di Pulisan pengurus pelabuhan-pelabuhan, Sumendap di Pulisan pelayaran perahu, Roring Sepang di awaon Tompaso, pengurus upacara-upacara di batu Pinawetengan, Makara’u (Pinamorongan), Pana’aran (Tanawangko), Talumangkun (Kalabat), Makarawung (Amurang), REPI (Lahendong), Pangembatan (Lahendong).

Dalam buku “Toumbulusche Pantheon” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1894 telah dikemukakan tentang sistem dewa-dewa Toumbulu yang ternyata mempunya sistem pemerintahan dewa-dewa seluruh Minahasa dengan jabatan yang ditangani leluhur tersebut. Pemerintahan golongan Tona’as abad ke-tujuh sudah punya satu pimpinan dengan gelar Muntu-Untu yang dijabat secara bergantian oleh ketiga sub-etnis utama Minahasa. Misalnya leluhur Ponto Mandolang mengatur pelabuhan Amurang, Wenang (Manado) Kema dan Bentenan dengan berkedudukan di Tanjung Pulisan. Tiap sub-etnis Minahasa mempunya panglima perangnya sendiri-sendiri tapi panglima perang tertinggi adalah raja karena dilantik dan dapat diganti oleh dewan tua-tua yang disebut “Potuosan”.

Dari nama-nama leluhur wanita Minahasa abad ke-7 seperti Riwuatan asal kata Riwu atau Hiwu artinya alat menenun, Poriwuan asal kata Riwu alat menenun, Raumbene asal kata Wene’ artinya padi, menunjukkan Minahasa abad ke-7 telah mengenal padi dan membuat kain tenun.

Artikel Terakhir

Komentar Terakhir

Website Tentang Sulawesi Utara

  • Bunaken
  • North Sulawesi
  • Tou Minahasa
  • World Ocean Conference