Sejak akhir tahun lalu, harian ini memuat polemik berkepanjangan tentang sejarah Minahasa oleh ‘duo’ Joutje, yakni Joutje Sendoh dan Joutje Koapaha. Lepas dari nuansa kekanak-kanakan dan saling menang sendiri yang jelas tergambar, topik tentang sejarah Minahasa memang tetap menjadi hal yang sangat menarik.

Oleh: Dr Bert A SupitWan Tek versi cersil saya adalah fiksi alias khayalan semata, dan begitu pula yang saya yakini dilakukan Remy Sylado. Dalam cersil yang saya buat secara sepintas saya juga menceritakan tentang putri Lu Ming yang ditemani panglima Tho Wang, yang bersama sejumlah kecil orang terdampar di Minahasa, setelah melarikan diri dari Pulau Es di Tionggoan yang terkena tsunami. Namun Wan Tek, Lu Ming dan Tho Wang dalam cersil yang saya buat murni khayalan dan saya sendiri tidak berharap akan ada pihak yang menjadikannya sebagai rujukan, atau sumber informasi.

D. Legenda
Jika menyimak apa yang dipaparkan pak Koapaha, maka pelurusan sejarah Minahasa yang disajikan sebenarnya hanya bersumber pada sejumlah legenda, terutama karangan PA Mendagel (1914), Pdt Matheos Kiroh (1968), Pdt Frederik Abuthan (1977), serta Nelis Mopay dan Arnold Bobanto (1999).

Terkait dengan Batu Ku-angang, Pak Koapaha bercerita singkat tentang legenda (leluhur?) Bantik bernama Kasimbaha, yang memper-sunting putri bungsu dari Kayangan, Utahagi. Pak Koa-paha tidak bercerita tentang proses pertemuan antara Ka-simbaha dan Utahagi di Perigi Tuju. Namun saya pernah men-dengar kisah serupa, dengan person yang berbeda. Yang laki-laki bernama Mamanua, yang bidadari bungsu bernama Lu-malundung, dan hasil perka-winan mereka bernama Wa-lansendouw. Anehnya, kisah serupa juga dikenal di budaya Jawa. Yang petani bernama Jaka Tarub, yang bidadari bernama Nawangmulan.

Jadi setidaknya ada tiga cerita tentang petani yang mem-persunting bidadari, bidadari ini secara kebetulan adalah bungsu dari tujuh bersaudara, dan per-temuan mereka terkait dengan tempat mandi. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa ada tiga legenda yang bangun ceritanya sama hanya berbeda nama?

Saya menduga bahwa legenda ini pastilah hanya berasal dari satu sumber, dan dua yang lainnya mengadopsi dan meru-bah nama. Kalau begitu mana yang paling tua? Batu Kuangang sudah berusia 2.500 tahun. Namun apakah itu berarti kisah ini benar-benar terjadi 2.500 tahun lalu? Dan jika kisah versi Bantik yang paling tua, apakah ini berarti legenda Jaka Tarub di Jawa ‘menjiplak’ versi Bantik, dan bukannya sebaliknya?

Yang menarik adalah, kisah Mamanua-Lumalundung sudah saya dengar sejak SD, dan versi Bantik baru saya ketahui dari paparan Pak Koapaha di harian ini. Beberapa rekan yang saya wawancarai secara acak, memperlihatkan raut wajah bingung ketika saya tanya apakah mereka pernah men-dengar cerita Kasimbaha-Uta-hagi. Namun sebagian besar mengaku tahu tentang cerita Mamanua. Beberapa bahkan mengaitkan secara tepat kisah Mamanua dengan tarian Tu-matenden.

Pak Koapaha juga bercerita tentang kisah banjir besar (saya tidak terlalu yakin apakah banjir ini sama dengan banjir semasa Bahtera Nuh). Namun di Tou-lour ada legenda yang berkisah tentang adanya banjir besar. Menurut legenda, banjir ini disebabkan oleh murkanya dewa karena ada dua kakak-adik bertikai. Banjir besar ini me-ninggalkan tanda mata, berupa Danau Tondano. Beberapa nama seperti gunung Tampusu dan Masarang juga terkait dengan banjir, yang berbeda bentuknya sebelum dan se-sudah banjir.

Karena ada pihak yang bisa mengetahui perbedaan antara gunung Tampusu sebelum dan sesudah banjir, maka berarti ada juga warga ‘Toulour’ yang sela-mat dari banjir, dan bukan hanya Toar, seperti versi Bantik.

Menyangkut leluhur Minahasa yang oleh Pak Koapaha dika-takan berjumlah 17 generasi yang berujung pada Toar dan Lumi-muut, saya juga pernah mende-ngar kisah yang serupa tapi tak sama. Seperti yang diungkap Ad-rianus Kojongian dalam sebuah terbitan, dia memaparkan ten-tang cerita yang dirangkum Appeles Supit, Kepala Distrik Tondano Toulimambot yang memerintah hingga 1917. Dari hasil wawancara dengan tua-tua Tondano, Supit menyimpulkan kalau leluhur orang Minahasa bernama Naiwakelan, yang beristri Rumengan. Keturunan mereka yang ke-17 bernama Lu-mimuut sedangkan Toar adalah keturunan ke-18. Yang ingin saya kemukakan menyangkut legenda ini adalah, kita tidak bisa mengklaim suatu legenda sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya, karena di wilayah lain ada kisah serupa, hanya berubah nama. Bahwa untuk meluruskan sejarah kita tidak bisa bergantung pada legenda, yang bagi generasi muda seka-rang dinilai sebagai dongeng pengantar tidur.(Bersambung)
E. Sumber Barat

Dalam paparannya pak Koapaha menuding pak Sendoh dan juga alm FS Watuseke salah menafsirkan paparan sejumlah penulis Barat, khususnya menyangkut eksistensi Bantik. Saya tidak bermaksud membela pak Sendoh, yang saya yakini tidak mengenal saya (kendati om Joutje Sendoh mengenal ayah saya dengan baik), namun apa yang dipaparkan pak Sendoh tentang Bantik itu seirama dengan sejumlah literatur tentang Minahasa yang saya baca, baik dalam bentuk materi seminar, buku terbitan resmi dan tulisan di sejumlah situs internet.
Sejauh ini saya belum men-jumpai sumber Barat yang mendukung paparan pak Koapaha. Dari yang saya amati pak Koapaha juga jarang menggunakan sumber penulis dari Barat untuk memperkuat argumentasi, kecuali meng-gunakan sumber Mendagel, Pdt Matheos Kiroh, Pdt Frederik Abuthan, serta Nelis Mopay dan Arnold Bobanto. Kalau toh ada sumber lain, itu berasal dari hasil wawancara dari sejumlah tokoh masyarakat.

Yang membuat saya tidak mengerti adalah, kenapa para penulis Barat (yang sebelum menulis melakukan penelitian mendalam) tidak pernah menyinggung soal eksistensi Bantik yang lebih tua? Saya sudah beberapa kali membolak-balik tulisan Graafland (yang berbahasa Indonesia, karena saya tidak bisa berbahasa Belanda), dan saya tidak menemui sedikit pun tulisan yang mendukung pernyataan pak Koapaha. Sedikitnya 26 kali Graafland menyebut nama Bantik, dua kali menyebut bahwa Bantik datang bela-kangan, dan dua kali Graafland menulis kalau Bantik itu merupakan budak raja Bolaang Mongondow. Kalau melihat bagaimana ketelitian Graafland dalam mendeskripsikan situasi di Minahasa, maka pernyataan Graafland sangat patut disimak. Apalagi sumber yang dipakai Graafland jelas-jelas lebih tua dari semua sumber yang dipakai pak Koapaha.

Tulisan JAT Schwarz dan JGF Riedel yang kemudian banyak dikutip penulis lokal juga tidak ada yang mendukung teori pak Koapaha. Kenapa bisa begitu? Apakah para penulis Barat ini tidak punya akses ke warga Bantik, ataukah mereka se-benarnya punya akses dan kemudian menyimpulkan sebagaimana yang sekarang dikenal luas, yakni Bantik hanya bergabung belakangan?

Secara pribadi, bagi saya tidak menjadi masalah jika Bantik memang benar paling tua di Minahasa. Bahkan saya sudah berancang-ancang bakal memasukkan waraney asal Walak Bantik dalam cersil yang saya buat (kendati masih terbentur masalah teknis, karena saya tidak punya ke-nalan pihak yang fasih ber-bahasa Bantik guna me-nerjemahkan jurus silat). Namun selama pertanyaan-pertanyaan di atas belum terjawab dengan memuaskan, saya masih akan tetap memakai teori ‘lama’, bahwa komunitas Malesung kuno dibentuk oleh Tontemboan, Tombulu, Toulour dan Tonsea. Dan etnis lainnya baru bergabung belakangan.

Dan satu hal lagi, sebagai ge-nerasi muda saya tentu saja senang sekali membaca paparan tentang sejarah Minahasa. Namun kami, generasi yang lebih muda tentu lebih me-nyukai jika paparan ini disa-jikan dengan elegan, ber-martabat, santun dan penuh bukti ilmiah akademis, dan bukannya disajikan secara emosional dan kekanak-ka-nakan, apalagi menuding pihak yang berbeda pendapat sebagai orang bodoh!!(*)

Penulis Pemerhati Budaya Minahasa, Tinggal di Tondano

0 comments

Artikel Terakhir

Komentar Terakhir

Website Tentang Sulawesi Utara

  • Bunaken
  • North Sulawesi
  • Tou Minahasa
  • World Ocean Conference