Pendahuluan

Minahasa, sebagai salah satu Daerah Tingkat II (kabupaten) dari Provinsi Sulawesi Utara, merupakan salah satu gudang temuan megalit di wilayah Indonesia sebelah timur. Adapun jenis-jenis tinggalan megalit yang ditemukan di daerah ini berupa peti kubur batu (waruga), menhir (watu-tumotowa), lesung batu, dan batu bergores. Selain itu, ditemukan benda megalit lainnya seperti arca menhir, batu dakon dan altar batu. Temuan megalit di Sulawesi Utara ini telah diteliti oleh beberapa orang peneliti seperti CT. Berthling yang menulis "De Minahasische Waruga en Hockerbestattung" dalam NION vol XVI tahun 1931, dan CIJ. Sluijk dengan tulisannya "Tekeningen op grafstenen uit de Minahasa". Pada tahun 1976 Hadi Moeljono dan kawan-kawan meneliti waruga di beberapa daerah di Minahasa dan menulis temuannya di dalam Berita Penelitian Arkeologi (BAP) No.3 tahun 1984. Selanjutnya, para peneliti dari Pusat Penelitian Nasional Jakarta dan dari Balai Arkeologi Manado telah melakukan serangkaian penelitian terhadap objek-objek megalit tersebut, sejak tahun 1993 hingga sekarang.

Megalit adalah tinggalan yang berupa benda atau bangunan (monument) dari kebudayaan yang mengenal penggunaan batu besar sebagai bahan (material). Kebudayaan ini mulai menyebar di Indonesia bersamaan dengan penyebaran budaya Austronesia melalui migrasi dari suku-suku bangsa yang menggunakan bahasa Austronesia. Daerah sebaran kebudayaan ini antara lain Korea, Jepang, Formosa, Cina, Asia Tenggara termasuk Indonesia, dan menyebar sampai daerah Pasifik. Menurut para ahli ada dua jalur penyebaran megalit ke wilayah Indonesia yaitu: melalui jalur barat yang masuk ke wilayah Indonesia sebelah barat, dan melalui jalur utara yang masuk ke wilayah Indonesia sebelah timur. Megalit di Minahasa tampaknya masuk ke daerah ini melalui jalur utara, kemudian menyebar ke wilayah Indonesia sebelah timur. Kebuayaan Megalit di Indonesia meninggalkan benda atau bangunan yang berupa menhir, dolmen, teras berundak, peti kubur batu, arca batu, arca menhir, sarkofagus, lumpang batu, batu bergores, batu dakon, dan altar batu dan lain-lain.

Sumber: www.petra.ac.id


Pasal 1: Megalit Dan Sebarannya Di Minahasa

Secara garis besar, benda megalit yang ditemukan di Minahasa dapat dibedakan menjadi beberapa jenis megalit yaitu: peti kubur, menhir, lumpang batu, batu bergores, altar batu, batu dakon dan arca batu atau arca menhir. Peti kubur batu di Minahasa disebut dalam bahasa daerah dengan istilah waruga. Benda ini merupakan tinggalan megalit yang sangat dominan di Minahasa. Jenis megalit yang lain adalah menhir. Diperkirakan menhir yang disebut dalam bahasa daerah dengan istilah watu tumotowa pada mulanya juga merupakan benda megalit yang cukup dominan di Minahasa, dan berfungsi sebagai tanda pendirian suatu daerah atau desa. Pada umumnya menhir dari daerah ini sangat sederhana dan tidak dikerjakan secara intensif, bahkan banyak yang tidak dikerjakan sama sekali bentuknya sehingga tetap sama dengan bentuk alamiahnya, kemungkinan sudah banyak menhir yang dimanfaatkan dan digunakan untuk keperluan lain Lumpang batu adalah jenis megalit lainnya yang ditemukan di Minahasa bagian selatan. demikian pula halnya dengan batu bergores, yang meskipun tidak banyak temuannya, tetapi merupakan tinggalan yang cukup penting. Jenis-jenis megalit yang lain yaitu altar batu, batu dakon dan arca batu atau arca menhir juga merupakan megalit yang ditemukan di Minahasa. Jenis-jenis megalit semacam ini jumlahnya tidak banyak dan daerah sebarannya juga sangat terbatas.

Pasal 2: Waruga


Waruga Airmadidi

Waruga Sawangan
Waruga adalah istilah lokal untuk tinggalan megalit yang termasuk dalam jenis peti kubur batu di Minahasa. Benda ini terdiri atas dua bagian, yaitu bagian badan dan bagian tutup.Kedua bagian ini masing-masing terbuat dari sebuah batu utuh (monolith), umumnya berbentuk kotak segiempat (kubus) untuk bagian badannya dan hanya sedikit yang berbentuk segidelapan atau bulat. Selain itu, bagian tutupnya menyerupai atap rumah.



Isi Waruga
Waruga ini berfungsi sebagai wadah kubur bagi orang yang meninggal di dalam satu keluarga. Setiap waruga diperkirakan dipakai menguburkan beberapa orang dari anggota keluarga yang meninggal. Di dalam waruga biasanya ditemukan tulang-tulang manusia yang berasosiasi dengan benda lain seperti : keramik cina, perhiasan dan alat-alat logam, serta manik-manik. Tulang-tulang tersebut merupakan sisa-sisa tulang manusia yang pernah dikubur dengan disertai bekal kuburnya yang terdiri atas : piring, mangkuk, dan jenis-jenis keramik lainnya, gelang perunggu, kalung perunggu, pisau perunggu, parang perunggu, manik-manik, dan lain sebagainya.

Kebanyakan waruga dihiasi baik bagian wadah maupun bagian tutupnya. Adapun jenis-jenis hiasannya terdiri atas motif manusia, motif tumbuhan yang distilir (sulur-suluran), motif geometri (garis-garis, segitiga dan lain-lain), motif binatang dan lain sebagainya. Hiasan yang cukup menarik dari waruga ialah manusia kangkang dan manusia yang sedang melahirkan. Di antara waruga ada yang berukuran cukup besar yaitu : tinggi wadah 1,5 m, lebar wadah 1 m, dan tinggi tutup 1,45 m, sehingga tinggi keseluruhan mencapai hampir 3 meter. Peti kubur batu yang disebut waruga di Minahasa secara keseluruhan mencapai jumlah 1335 buah.


Waruga di Desa Kawangkoan
Waruga di Minahasa tersebar hampir di semua Wilayah Kerja Daerah Tingkat II Kabupaten Minahasa yaitu : Wilayah Kerja Tonsea, Tomohon, Tolour, Kawengkoan, dan Amurang. Di Wilayah Kerja Tonsea, waruga ditemukan di Desa Kokoleh, Likupang, Wangurer, dan Batu yang semuanya termasuk ke dalam Kecamatan Likupang; di Desa Matungkas, Paniki Atas, Paniki Bawah , dan Tatelu di Kecamatan Dimembe; di Desa Airmadidi Bawah, Sawangan, Kawengkoan, Kolongan, Tanggari, Kuwil, dan Di Maumbi di Kecamatan Airmadidi; di Desa Kasar, Tumaluntung, dan Kema di Kecamatan Kauditan. Waruga juga ditemukan di Wilayah Kerja

Waruga Sawangan
Kawangkoan yaitu : di Desa Palamba, Winubetan, Nimawale, dan Tompaso di Kecamatan Langowan; serta di Desa Kaneyan di Kecamatan Tareran; demikian juga di Desa kiawa, Kayuuwi, Kanonang, Talikuran dan Uner di Kecamatan Kawangkoan; selain itu di Wilayah Kerja ini waruga ditemukan dim Kecamatan Sonder.


Waruga di
Desa Kawangkoan
Di Wilayah Kerja Tolour waruga ditemukan di Desa Nimawale dan Koya di Kecamatan Tondano, serta di Desa Kakas di Kecamatan kakas. Waruga di Wilayah Kerja Tomohon ditemukan di Desa Kakas kasen, Woloan, Tara-Tara, Kayawu, Matani, Kolongan dan di Lansot di Kecamatan Tomohon, serta di Desa Lolah dan Ranowangko di Kecamatan Tombariri. Di Wilayah Kerja Amurang waruga ditemukan antara lain di Desa Lelema, Popontolen, Popareng dan tumpaan di Kecamatan Tumpaan; serta di desa Rumoong Bawah di Kecamatan Tombasian, dan di desa Radey, di Kecamatan Tenga.

Pasal 3: Watu Tumotowa


Waruga Airmadidi
Dalam bahasa setempat, menhir disebut sebagai watu tumotowa, yaitu batu tegak yang dipakai untuk menandai pembangunan sebuah desa atau wilayah dari sekumpulan anggota masyarakat atau komunitas di suatu daerah di Minahasa. Menhir di sini biasanya berupa batu tegak berbentuk tugu. Kebanyakan menhir di daerah ini tidak mengalami pengerjaan tangan manusia, sehingga berbentuk sederhana sesuai dengan aslinya (alamiah) dan tidak berhiasan. Watu tumotowa atau menhir yang ditemukan di Minahasa kebanyakan berukuran kecil yaitu : tinggi 20 - 50 cm, diameter 15 - 30 cm. Namun, ada pula menhir yang cukup besar yaitu ditemukan di Desa Lelema di Kecamatan Tumpaan, yang berukuran tinggi sekitar 200 cm dan lebar antara 20 -40 cm. Menhir atau yang dikenal dengan sebutan watu tumotowa di Minahasa ini ditemukan sejumlah 61 buah.


Waruga Airmadidi
Watu Tumotowa atau menhir ditemukan di beberapa tempat di Minahasa, yaitu di Desa Kiawa di Kecamatan Kawangkoan; di Desa Tincep dan desa Leilem di Kecamatan Sonder; di Desa Motoling, Kumelembual, Mopolo, megalithuan Lama, Wakan, Raanan lama, Lompad, dan Makasili di Kecamatan Motoling. Watu Tumotowa juga ditemukan di Desa Lelema, Popontolen, Sulu, Paslaten, Popareng, dan Desa Tangkuney di Kecamatan Tumpaan; di Desa Rumoong Bawah, Pondang, Pondos, dan Tewasen di Kecamatan Tombasian, serta di Desa Radey, Tenga, dan Pakuweru di Kecamatan Tenga. Selain itu di Kecamatan Ratahan, yaitu di Desa Liwutung dan Poniki, lalu di Desa Tinoor dan Kayawu di Kecamatan Tomohon, serta di Kecamatan Tondaro telah ditemukan beberapa menhir yang disebut sebagai watu tumotowa tersebut. Demikian pula halnya di Kodya Manado yaitu di situs batu Sumanti di Tikala Ares di Kecamatan Wenang, juga ditemukan adanya watu tumotowa.

Pasal 4: Lesung Batu


Lesung Batu
Desa Malola
Lesung batu kebanyakan ditemukan di Minahasa bagian selatan. Benda ini terbuat dari batu tunggal (monolith), dalam beberapa macam bentuknya. Salah satu lesung batu dari Minahasa yang menarik adalah yang menyerupai dandang (wadah untuk menanak nasi), yaitu memiliki bentuk badan tinggi dan cekung dengan ukuran tinggi 55 cm, diameter bagian dasar 50 cm, diameter badan (bagian cekungan) 40 cm, diameter tepian 60 cm, diameter mulut lubang 20 cm, dan kedalaman lubang 30 cm.


Lesung batu di
Desa Tompaso Baru
Ada pula lesung batu dari Minahasa yang berbentuk semacam itu, namun berukuran lebih tinggi dan ramping, sehingga lebih menyerupai tifa (gendang dari Indonesia bagian timur). Lesung batu yang lain ialah yang berbentuk bundar seperti bola dengan lubang di bagian atasnya. Lesung yang berbentuk semacam ini biasanya berukuran lebih kecil dari pada lesung

Lesung Batu
Desa Pontak
berbentuk dandang atau tifa. Selain itu, ada pula lesung yang berbentuk silinder yang berukuran seperti lesung berbentuk dandang. Secara keseluruhan lesung batu yang ditemukan di Minahasa berjumlah 32 buah.

Lesung batu kebanyakan ditemukan di daerah Minahasa bagian selatan yaitu di Desa Karimbow, Ranaan Baru, Pontak, Poopo, Motoling, Tonday, megalithuan Baru, Mopolo, Malola, dan Ranaan Lama di Kecamatan Motoling; serta di Desa Bitung dan Lewet di Kecamatan Tombasian, dan di Kecamatan Tenga, demikian juga di Tompaso Baru. Semuanya termasuk ke dalam Wilayah Kerja Amurang. Adapun di Wilayah Kerja Ratahan lesung batu ditemukan di Kecamatan Ratahan dan di Kecamatan Tombatu.

Pasal 5: Watu Pinawetengan


Watu Pinawetengan
Jenis megalit lain yang menarik, yang terdapat di Minahasa ialah batu bergores yang ditemukan di Kecamatan Tompaso. Oleh penduduk setempat batu bergores ini disebut sebagai watu pinawetengan. Batu ini merupakan bongkahan batu besar alamiah, sehingga bentuknya tidak beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang membentuk gambar manusia, menyerupai kemaluan laki-laki, menggambarkan kemaluan perempuan, dan motif garis-garis serta motif yang tidak jelas maksudnya. Para ahli menduga bahwa goresan-goresan tersebut merupakan simbol yang berkaitan dengan kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit, yaitu kepercayaan kepada roh leluhur (nenek moyang) yang dianggap memiliki kekuatan gaib sehingga mampu mengatur dan menentukan kehidupan manusia di dunia. Oleh sebab itu, manusia harus melakukan upacara-upacara pemujaan tertentu untuk memperoleh keselamatan atau memperoleh apa yang diharapkan (seperti: keberhasilan panen, menolak marabahaya atau mengusir penyakit) dengan menggunakan batu-batu besar sebagai sarana pemujaan mereka.

Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan tempat tempat bermusyawarahnya para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa asli keturunan Toar & Lumimuut (nenek moyang masyarakat Minahasa) pada masa lalu, dalam rangka membagi daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong ke dalam kelompok-kelompok etnis Minahasa. Sampai saat ini batu bergores yang sudah ditemukan di Minahasa, baru watu pinawetengan, terdapat di wilayah kerja Kawangkoan namun dapat dianggap sebagai temuan yang cukup penting dan dapat dimasukkan sebagai monumen sejarah, khususnya sejarah kebudayaan masyarakat Minahasa

Pasal 6: Altar Batu, Batu Dakon Dan Arca Menhir


Batu Tegak / Menhir
Kecamatan Tumpang
Jenis-jenis megalit yang terdiri dari altar batu, batu dakon, dan arca menhir di Minahasa tampak peranannya tidak begitu menonjol. Hal ini dibuktikan dengan jumlah temuannya yang tidak terlalu besar dan daerah sebarannya yang terbatas. Altar batu ialah bongkahan batu yang berbentuk segi empat atau bulat bahkan sering tidak beraturan, yang memiliki bagian datar, terutama pada bagian permukaan (bagian atasnya) sehingga berbentuk menyerupai meja. Jenis mengalit ini biasanya dipakai sebagai sarana untuk melakukan upacara peribadatan oleh masyarakat yang memiliki kepercayaan pada roh-roh leluhur.

Sampai saat ini baru ada sembilan altar batu yang telah ditemukan di Minahasa. Demikian pula halnya batu dakon, juga merupakan alat upacara untuk memohon pertolongan kepada roh nenek moyang agar memperoleh hasil panen yang baik serta mengharapkan kesuburan tanah. Batu dakon ini terbuat dari bongkahan batu yang diberi lubang-lubang seperti halnya pada alat permainan dakon. Di Minahasa batu dakon hanya ditemukan sebanyak enam buah saja.


Batu Datar Berdakon
Desa Pontak
Temuan benda megalit lainnya berupa arca menhir. Biasanya juga dibuat dari batu tunggal berbentuk seperti batu tegak (menhir), namun pada bagian atasnya dibentuk menyerupai manusia, dengan bagian kepala dan mukanya serta bagian badannya, sedangkan kakinya tidak digambarkan. Arca menhir dimaksudkan sebagai penggambaran dari leluhur yang dikultuskan. Benda ini biasanya juga merupakan sarana untuk melakukan upacara pemujaan terhadap roh nenek moyang. Arca menhir di Minahasa yang berhasil ditemukan adalah sebanyak dua buah.

Jenis-jenis megalit Altar Batu, batu dakon, dan arca menhir semacam itu hanya ditemukan di beberapa tempat saja di Minahasa. Altar batu misalnya hanya ditemukan di beberapa desa, yaitu di Kecamatan Motoling, di Kecamatan Tombasian dan di situs Batu Sumanti di Kodya Manado; batu dakon ditemukan di beberapa tempat yaitu di Kecamatan Motoling, Kecamatan Tompaso, dan di Kecamatan Malalayang; sedangkan arca batu hanya ditemukan di Desa Kiawa, Kecamatan kawangkoan dan di Desa Sendangan, di Kecamatan Tompaso.

Pasal 7: Penutup

Daerah Minahasa memiliki tinggalan megalit yang cukup banyak dan menarik untuk dipelajari atau diteliti lebih lanjut dan dikembangkan bagi kepentingan dunia ilmu pengetahuan, pendidikan ataupun pariwisata. Usaha pemberdayaan perlu diadakan untuk tinggalan-tinggalan megalit di Minahasa ini melalui penelitian, pemeliharaan, dan pemanfaatan untuk tinggalan-tinggalan tersebut. Dalam rangka pemberdayaan ini kiranya kajian wilayah megalit terhadap megalit Minahasa merupakan strategi yang perlu diterapkan. Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran (distribution) dan hubungan (relationship) dari tinggalan-tinggalan megalit yang ada di Minahasa tersebut. Yang perlu diperhatikan di dalam kajian ini adalah sebaran dari benda-benda dan situs-situs megalit, dan hubungan antara benda dengan benda, serta antara situs dengan situs, maupun hubungan antara benda dan situs dengan lingkungan fisiknya. Kajian ini mempelajari hubungan artefak di dalam ruang (yaitu situs atau wilayah) dan juga hubungan antara berbagai unsur serta lingkungan yang ada di dalam ruang tersebut. Untuk itu sebagai usaha pemberdayaan warisan budaya masa lalu di Sulawesi Utara, yang terkait dengan pemberdayaan dunia ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan, maupun pariwisata serta kesejahteraan masyarakat, maka :

Perlu segera dilakukan revitalisasi kebudayaan di Minahasa untuk kepentingan masyarakat luas dengan pemberdayaan warisan budaya megalit.

Megalit Minahasa perlu dibagi ke dalam 5 (lima) kelompok wilayah sebaran, dan pada setiap kelompok dapat dipilih satu lokasi yang strategis sebagai pusat informasi megalit untuk wilayahnya.

Pada setiap pusat informasi itu perlu dibangun sebuah "Taman Purbakala" yang berisi informasi dan kumpulan replika objek megalit dari setiap wilayah, sebagai bahan belajar-mengajar dan objek wisata budaya.

Kelompok wilayah megalit di Minahasa itu antara lain :

  1. Megalit Tonsea dengan pusatnya di Airmadidi
  2. Megalit Tolour dengan pusatnya di Tondano
  3. Megalit Tomohon dengan pusatnya di Kakas-Kasen
  4. Megalit Kawangkoan dengan pusatnya di Situs Watu Pinawetengan
  5. Magalit Amurang dengan pusatnya di Amurang.

Dengan penerapan strategi kajian dan pembagian kelompok wilayah megalit ini, diharapkan setiap penelitian pemeliharaan ataupun pemanfaatan benda-benda megalit di Minahasa akan lebih terarah dan memperjelas pola sebaran serta latar belakang keberadaan benda-benda tersebut di wilayah ini. Strategi ini diharapkan dapat mendukung empat pokok arahan kebijakan pengembangan kebudayaan nasional dari Direktorat Jenderal Kebudayaan yaitu:

  • intensifikasi peranan budaya sebagai pemberi jatidiri bangsa,
  • pembudayaan kreativitas,
  • pembinaan pusat informasi kebudayaan Indonesia, dan
  • peningkatan prestasi Indonesia di forum internasional (Sedyawati, 1993).

Selain itu strategi ini adalah merupakan penjebaran dari lima tema utama penelitian yang merupakan kebijakan pengembangan penelitian arkeologi di Indonesia, yaitu :

  1. proses dan aliran migrasi,
  2. proses persentuhan budaya,
  3. proses adaptasi dan tumbuhnya budaya lokal (local genius),
  4. proses terjadi dan berlangsungnya diversivikasi kultural, serta
  5. proses integrasi budaya dalam lingkup dan wawasan nasional (Ambary, 1993).

Pasal 8: Daftar Pustaka

Ambary, Hasan muarif, 1993. Pengembangan Sumber Daya, Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Yogyakarta, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Clark, David L, 1997. Spartial Information In Archaeology, Spatial Archaeology, Academic Press, London, halaman 1-32.

Duff, Roger, 1970. Stone adzes of southeast Asia, Museum Bulletin no. 3, Chirstchurch, New Zealand.

Geldern, Heine von, 1945. Prehistoric Research in the Netherlands Indies, Science and Scientists in the Netherlands Indies, New York, halaman 129-167.

Heekeren, H.R. van, 1972. The Stone Age of Indonesia, VKI, 62, 2nd Revised Edition, The Hague, Netherlands.

Hodder, Ian & Clive Orton, 1976. Spatial Analysis in Archaeology, Cambrige University Press, London.

Moendardjito, 1995. Kajian Kawasan : Pendekatan Strategis Dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia Dewasa ini, Manusia Dalam Ruang : Studi Kawasan dalam Arkeologi, Berkala Arkeologi Th. XV, Edisi khusus, Yogyakarta, halaman 24-28.

Sedyawati, Edi, 1993. Arah Kebijakan Pengembangan Kebudayaan Nasional dan Masa Depan Penelitian Arkeologi di Indonesia, Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Yogyakarta, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Soejono, R.P. (Editor), 1976. Jaman Prasejarah di Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sukendar, Haris, 1976. Obyek kepurbakalaan Di Palu (Sulawesi Tengah), Kalpataru Majalah Arkeologi, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta.

Yuniawati Umar, Dwi Yani, 1996. Korelasi Waruga dan Lumpang Batu. Suatu Studi Awal dan Studi Kasus di Minahasa. Seminar Prasejarah Indonesia I. Yogyakarta.

0 comments

Artikel Terakhir

Komentar Terakhir

Website Tentang Sulawesi Utara

  • Bunaken
  • North Sulawesi
  • Tou Minahasa
  • World Ocean Conference