I. AWAL PERISTIWA
PERANG DIPONEGORO : 1825 – 1830.
Perang Jawa, perang melawan Belanda di Jawa.
Pada sekitar abad ke 18 , penjajah Hidia Belanda dengan melalui perusahaan dagangnya VOC ( Verenigde Oost indische Compagnie ) sedang melebarkan kekuasannya untuk mengelolah dan memiliki perkebunan rakyat terutama rempah rempah dan beras diseluruh Indonesia termasuk di Jawa & Sulawesi – Maluku.

Pangeran Diponegoro
Pada waktu itu di Jawa berdiri satu kerajaan Jawa peninggalan Kerajaan Mataram yakni Kerajaan Jokyakarta ( Sekarang Jokyakarta - tetap) termasuk juga daerah Surakarta ( Solo ) dan diberi nama Kesultanan.
Orang pertama yang menjabat sebagai Sultan adalah Hamengkubuwono I, dan pada masa terjadi perang Diponegoro maka Joyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono V.
Penjajah Belanda melihat, karena Jokyakarta pada waktu itu sebagai lumbung beras utama di Jawa, maka harus dikuasai melalui VOC nya, dan terjadilah pematokan persawahan milik rakyat, yang kemudian diklaim sebagai milik pemerintah penjajah Belanda.
Salah satu Pangeran dari kesultanan Jokyakarta pada waktu itu yang bernama Pangeran Diponegoro*) tidak tahan dan emosi melihat rakyatnya diperlakukan demikian oleh Belanda.
Pangeran Diponegoro dengan nama lahir Raden Mas Ontowiryo adalah putra sulung dari sultan Hamengku Buwono III, lahir 11 November 1785.
Emosi Pangeran Diponegoro tak terbendung ketika pematokan dilaksanakan Belanda pada sawah sawah rakyat terlebih lagi melintasi kompleks pekuburan bekas Raja Raja Jawa, yang merupakan makam makam leluhurnya.
Rakyat yang mempergunakan jalan jalan yang ada untuk transportasi perdagangan dibebankan pajak yang tinggi oleh Belanda.
Pada waktu itu sebagai Raja ( Sultan ) Jokyakarta adalah sultan Hamengkubuwono V yang dinobatkan ketika baru berumur 3 tahun, jadi untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh kerabat Keraton HB IV.
Pemeritahan sementara kesultanan ini tidak berdaya, karena ternyata kekuasaan yang sebenarnya terselubung dan berkoloberasi dengan Pemeritahan Kolonial Belanda.

Kyai Mojo
Selanjutnya, Pangeran Diponegoro menyusun rencana untuk melawan penjajahan Belanda.
Beliau mengontak dan mengajak Kyai Mojo ( Ulama Islam) yang sekaligus gurunya dalam bidang spiritual agama Islam, juga sebagai pamannya, yang mempunya banyak pengikut dan disegani, serta , Tumenggung Zees Pajang Mataram, Tumenggung Reksonegoro.
Selain itu juga Pangeran Diponegoro mengajak Sentot Prawirodirdjo,18*), seorang pemuda yang pemberani.

Sentot Prawirodirdjo
Ayahnya bernama Ronggo Prawirodirjo adalah ipar Sultan HB IV, adalah pembrontak melawan Belanda tapi berhasil dibunuh oleh Daendles.
Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa dendam kepada Belanda.
Beberapa saat kemudian pada tahun 1825 berkobarlah Perang Jawa ( Diponegoro ) untuk melawan penjajahan Belanda, dimana perang tersebut sangat sulit diatasi Belanda dan memakan korban yang cukup besar dikedua belah pihak dan sudah berlangsung hampir 5 tahun.
Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa,sehingga mengakibatkan penyusutan penduduk Jawa pada waktu itu.

*) Sentot Prawirodirdjo berhasil dibujuk Belanda, dan dikirim Belanda dan meletakkan senjata pada tanggal 17 October 1829, dan dikirim Belanda ke Sumatra Selatan untuk melawan pembrontakan para ulama dalam perang”Padri”, kemudian wafat di Bengkulu pada tanggal 17 April 1855 dalam usia 48 tahun.

Jendral De Cock naik pitam oleh karena walaupun dia punya banyak serdadu akan tetapi dia tidak bisa memadamkan pemberontakan itu dan akhirnya mendapat kecaman dari atasannya di Batavia ( Jakarta ).
Suatu saat selagi perang berkecamuk Pangeran Diponegoro terluka tertembus peluru, yang kemudian beliau menunjuk Kyai Mojo sebagai Panglima Perang dan Pangeran Mangkubumi sebagai Komandan Lapangan.

II. PENANGKAPAN KYAI MODJO

Jedral De Kock panasaran, sudah hampir 4 tahun dia tidak berhasil memadamkan pembrontakan Diponegoro!
Untuk menaklukan Diponegoro maka dia lalu menerjunkan intelejennya yang terlatih untuk menganalysa kelemahan Pasukan Diponegoro.
Dari hasil pengamatan intelejennya dan setelah dilakukan analysa yang cermat diambil kesimpulan bahwa kekuatan atau pilar utama Pasukan Diponegoro terletak pada Kiay Modjo yang merupakan wakilnya dan menangkap sebagai Panglima Perang.
Berdasarkan hasil kajian tersebut maka Jendral De Kock harus menaklukkan Kyai Mojo terlebih dahulu dan harus dilumpuhkan, karena dialah sebagai Panglima Perang disamping penasehat Spiritual Diponegro.
De Kock merencanakanakan tipu muslihat untuk menangkap Kyai Mojo melalui undangan kepada Kyai Mojo untuk berunding.
Perundingan dapat dilaksanakan pada tanggal 31 October 1928 di desa Melangi Jokyakarta,tapi perundingan gagal.
Belanda membujuk lagi Kyai Mojo atas inisiatif Gubernur Jeneral Du Bus untuk berunding yang kedua kalinya, ( dalam perundingan ini apabila gagal maka Kyai Mojo harus ditangkap ).
Selanjutnya perundingan yang ke dua kalinya dilaksanakan pada tanggal 12 November 1928, di desa Kembang Arum Jokyakarta, dan gagal lagi.
Ditempat inilah Kyai Mojo dan pasukannya sekitar 500 orang dikepung oleh militer Belanda, yang dipimpin oleh Kolonel Le Bron, kemudian ditangkap dan dilucuti senjatanya.

Du Bus
Apabila hal ini terjadi pada saat sekarang ini, pada zaman modern, maka peristiwa ini adalah suatu kejahatan perang.
Konon khabarnya ( ? ) dalam peristiwa penangkapan Kyai Mojo ini Belanda mendatangkan ke tanah Jawa tentara Belanda Pribumi dari Manado dan Ambon ( baca Minahasa pada abad 18 ), pada halaman 16 buku ini.
Kyai Mojo dengan sangat marah mempertanyakan hal ini kepada Lekol Le Bron, yang kemudian ia menjawab, bahwa hal ini terpaksa dilaksanakan atas perintah atasannya.
Penangkapan Kyai Modjo

Dalam kondisi ini kemudian atas permintaan Kyai Mojo, sebahagian besar pasukannya dibebaskan Belanda, dan hanya kerabat kerabatnya yang ditahan Belanda sebagai tawanan perang.
Raja Belanda Willem 1 mengirim Komisaris General Du Bus de Gisiegnies menggantikan Van der Cappellen ( yang memerintah Hindia Belada ) dengan buruk yang mengakibatnya timbulnya perang Pangeran Diponegoro.
Tugasnya yaitu memulihkan keamanan di Jawa, sehingga VOC dengan aman melakukan transaksi perdangannya.
dibawah ke Semarang disertai residen Jokyakarta waktu itu, Van Dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda akhirnya Kyai Mojo dan rombongan Nes, melalui jalan darat.
Sesampainya di Semarang selanjutnya mereka diangkut dengan kapal Korvet Belanda ke Batavia ( Jakarta ) untuk menemui Gubernur Jedral Du Bus.

III. PENANGKAPAN PANGERAN DIPONEGORO
Dengan ditangkapnya Kyai Mojo, memberikan pukulan sangat berat kepada Pangeran Diponegoro, oleh karena Kyai Mojo merupakan Pilar Utama dalam perang Diponegoro.
Berbulan bulan Du Bus membujuk Kiay Mojo untuk meminta Diponegoro agar mau berunding, dan akhirnya disuatu saat Kiay Mojo mengirim surat ke Diponegoro untuk berunding.
Surat itu diatar 3 orang yaitu kapten Roeps yang fasih bahasa Jawa, Haji Ali & Kiay Hasan Besari ( dengan catatan kemudian setelah dilokasi mereka akan berjuang sendiri lagi ).
Pada waktu bersamaan De Kock berusaha menangkap Diponegoro seperti yang telah dilakukan terhadap Kiay Mojo, agar supaya dia dapat melaporkan ke Raja Willem 1, sehingga dapat mendepak Du Bus ( menggantikannya ).
Penangkapan P.Diponegoro

Mengingat kondisi Pangeran Diponegoro waktu itu dalam keadaan terdesak, Pangeran Diponegoro bersedia berunding.
Perundingan direncanakan di Magelang, gagal karena bulan puasa.

Perundingan berikutnya diadakan di pada tanggal 28 Maret 1830 saat Idhul Fitri.
Perundingan tidak mencapai kesepakatan, dan pada saat itulah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh pasukan Belanda pimpinan de Kock.
Pangeran Diponegoro ditawan, lalu dibawa ke Ungaran Semarang, kemudian ke Batavia.
Pada tanggal 8 April 1830 Pangeran Diponegoro sampai di Batavia dan ditempatkan di Stadhuis, kemudian pada tanggal 3 Mei 1830 Pangeran Diponegoro dan rombongannya diberangkatkan dengan kapal perang Pollux ke Manado.
Di Manado ditempatkan di Benteng Amsterdam selama 4 tahun.
Pangeran Diponegoro oleh Belanda tidak disatukan dengan Kyai Mojo di Tondano karena dianggap Belanda sangat berbahaya, hanya sekali saja sempat bertemu dengan Kyai Mojo.
Oleh karena Belanda menganggap penjagaan di Manado tidak cukup kuat, maka Pangeran Diponegoro dipindahkan di Benteng Rotterdaam Makassar pada tahun 1834, sampai wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 78 tahun.

IV. KYAI MOJO DIASINGKAN KE MINAHASA

Untuk menghindari kemungkinan Kiay Mojo dan rombongan kembali ke Pajang untuk bergabung kembali dengan Pageran Diponegoro, Du Bus telah merencanakan untuk mengasingkan mereka ketempat yang jauh, dan dipilih Minahasa di Ujung Sulawesi, yang pada waktu itu negeri ini belum lama dikuasai Belanda ( 1829 ).
Pemilihan tempat ini juga berdasarkan permintaan dari Residen dari Manado untuk mengirimkan tenaga tenaga ahli di bidang pertanian dari Jawa untuk membuat persawahan dimana hasilnya dapat mengisi uang kas keresidenan yang agak parah pada waktu itu.
Selanjutnya untuk pelaksanaan rencana tersebut, dilaksanakan beberapa tahapan.

Tahap 1.

Dari Kembang Arum Kyai Mojo dan pengikutnya dibawa ke Semarang.
Pengadilan Tinggi Belanda memutuskan bahwa Kyai Mojo sebagai tahanan politik.
Hasil sidang Pengadilan Tinggi adalah ( surat dari Menteri Negara Komisaris Jendral tanggal 1 Desember 1828 kepada Letnan Gubernur Jendral):

Kyay Mojo dan pengikutnya dipenjara dalam bentuk tahanan rumah.
Ir.Tromp ditunjuk sebagai pelaksana pembangunan “rumah tahanan” tersebut.
Menyiapkan 25 orang serdadu Ambon secara bergantian menjaga rumah tersebut.

Tahap 2.

Kemudian setelah beberapa lama di Semarang Kyai Mojo diangkut dengan kapal perang Belanda”Mercury” ke Batavia.
Berdasarkan surat Kapten Laut Komandan dan Direktur Kelautan Hindia Belanda kepada Gubernur Jendral tanggal 1 Desember 1828 No.231N/3116K:
Pengurusan Kyai Mojo,dan pengikutnya, ditempatkan di kapal Fregat De Belona dan satu kapal tunggu untuk kemudian dinaikkan ke kapal perang Belanda Mercury, dengan pengawasan militer.
Memperlakukan tawanan dengan baik sesuai perjanjian antara Kepala Hakim dan Komandan Fregat De Belona.
Kapal perang Mercury yang mengangkut tawanan Kyai Mojo dikawal 2 kapal fregat De Belonana dan Anna Paulona.

Tahap 3.

Tanggal 3 Desember 1928 tiba di Batavia.
Sesuai dengan kesepakatan semua pihak, maka tawanan diperlakukan dengan baik serta diperhatikan kebutuhan sehari harinya.
Hal ini perlu dilakukan karena Kyai Mojo masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat.
Karena dianggap berbahaya oleh Belanda maka sewaktu berada di Batavia, tidak ditempatkan di gedung penjara menyatu dengan dengan tahanan biasa, tapi ditempatkan di “kantor baru” sebagai tahanan rumah.
Dikemudian hari ternyata tempat ini, adalah tempat menunggu untuk pengasingan terakhir ke Minahasa.
Oleh karena tahanan politik ini sangat istimewa maka semua kebutuhan hidup sehari hari Kyai Mojo dan pengikutnya ditanggung oleh pemerintah kolonial Belanda dengan biaya yang cukup mahal pada waktu itu.
Sebagai pemasok kebutuhan tersebut adalah Kapten Cina bernama Jap Soan Kho.
Adapun biaya tersebut sesuai laporan sekertaris penjara tanggal 3 Desember 1828 adalah:
1. Daging ayakm, ikan, daging sapi F 23
2. Sayur sayuran 5
3. 6 botol minyak kelapa 3
4. Macam macam bumbu sayur 4
5. Buah buahan 5
6. ¼ canting garam 0,183/4
7. 9 roti 2
8. 3 pon mentega 2
9. ½ keju 1,25
10. Kue kue pribumi 8
11. ½ canting kopi 1
12. Gula 2
13. The 1
14. 10 canting nasi 2,50
15. ½ ikat kayu bakar 5
16. Sirih, pinang,kapur sirih 2,5
17. 5 botol minyak lampu 2,5
Jumlah F 73,4 33/4

Selain itu ada lagi kebutuhan biaya sebesar F492, untuk pengadaan pakaian Kyai Mojo dan pengikutnya,
Selama berada di Batavia Belanda sudah menghabiskan biaya total F3051,15 yang ditanggung pemerintah kolonial Belanda sebagai biaya perang.

Tahap 4.

Selanjutnya setelah kurang lebih setahun Kyai Mojo dan rombongannya di Batavia disatu saat pagi yang cerah dipelabuhan Batavia sekarang Tanjung Priuk, bulan October 1829, telah bersandar sebuah kapal perang Belanda ( fregat ) Thalia, yang telah dihiasi dengan hiasan klasik Jawa ala Kraton.
Dari Dermaga sampai ke Kapal telah ditebarkan karpet yang mengingatkan kejayaan kerajaan Mataram dulu.
Kemudian Du Bus memanggil Kiay Mojo melalui ajudannya menemuinya dan mengundang menghadiri acara ramah tama diatas geladak kapal korvert tersebut bersama dengan Admiralnya.
Kiay Mojo langsung berfikir mencari alasan untuk menolak undangan tersebut karena dia tidak suka dengan acara tersebut yang berfoya foya dan huru hara.
Akan tetapi sebelum menemukan alasannya sudah muncul berderet kereta kereta yang akan mengangkut mereka ke kapal yang dipimpin oleh residen Jokyakarta Van Nes.
Dengan kondisi yang tiba tiba itu dan terdesak akhirnya Kiay Mojo dan rombongannya naik kreta menuju ke Kapal didampingi oleh Residen Jokyakarta Van Nes.
Van Nes tidak hanya mendampingi Kiay Mojo ke Kapal tapi mendampinginya terus sampai ke Minahasa.
Du Bus telah menyiapkan segala sesuatunya yang berurusan dengan keperluan Kiay Mojo.
Kepada Gubernur Maluku diinstrusikan agar supaya memberikan fasilitas fasilitas yang diperlukan kepada residen Manado.
Sesampainya di Dermaga Kiay Mojo disambut Admiral kapal perang Korvert, berjabatan tangan dan juga disambut oleh Kapten Kapal beserta anak buahnya.
Tak lama berselang Admiral menghilang menuju kekapal komandonya yang disembunyikan ditempat lain.
Penyambutan yang berlebihan itu membuat Kiay Mojo curiga dan memandang pada senopatinya Tumenggung Zees Pajang dimana dia membalas dengan pandangan yang serupa.
Kemudian Kiay Mojo diajak Kapten Kapal mengelilingi ruangan kapal dan diperlihatkan alat alat senjata Meriam dan jejeran senjata lainnya.
Kyai Mojo & Du Bus

Kemudian senopatinya nyeletuk kepada Kapten Kapal, inikah kapal yang mengangkut 3000 tentara Belanda Totok ke Jokyakarta yang telah disapuh bersih pada waktu perang berkecamuk, tapi Kapten Kapal tidak menjawab menundukkan kepalanya, sambil terus berjalan.
Dalam acara ramah tamah sambil menyuguhkan makanan diberitahukan bahwa rombongan Kiay Mojo didalam kapal ini akan melakukan darmawisata ( dibohongi ) di Utara perairan Laut Jawa, dan baru sesuap makan kapal sudah bergerak menjauhi Tanjung Priuk.
Dengan menancapkan gas vorseneling penuh kapal korvet tersebut bergerak dengan cepat sehingga Tanjung Priuk tidak kelihatan lagi, tiba tiba dengan tak terduga muncul 2 kapal lain yang membuntuti dari belakang.
Tidak berapa lama kemudian pantai Utara Jawa Barat menghilang dan dari atas geladak kapal itu Kiay Mojo melihat dengan jelas ternyata 2 kapal yang membututi dari belakang penuh dengan serdadu serdadu Belanda.
Sadarlah Kiay Mojo sekarang bahwa dia telah dijebak dan tidak tau mau dibawa kemana! Apakah ke suatu tempat antah berantah!
Dengan rasa kecewa dan amarahnya Kiay Mojo dan beberapa pengikutnya bergegas menemui Kapten Kapal untuk menanyakan kapal ini tujuannya kemana, dan serta merta Kapten Kapal menyongsong mereka dan berkata, bahwa kapal ini atas perintah atasannya akan menuju ke Minahasa Sulawesi Utara ( sekarang ), sebagai tawanan yang terhormat, dan lihatlah disamping kapal ini , 2 kapal perang sudah siap melakukan sesuatu apabila saudara saudara membuat kegaduhan diatas kapal ini.
Pemuda pemuda yang lain sudah berteriak Allahu Akbar untuk mengadakan pemberontakan diatas kapal, untuk menangkapi Kapten dan awaknya dan akan dilemparkan ke laut Jawa.
Mereka bersedia rela mati Syahid, biar darah mereka menyirami laut Jawa.
Kemudian Kiay Mojo berkata, tengoklah teropong teropong dari 2 kapal disamping yang diarahkan ke kita, salah sedikit kita akan mati, mati konyol namanya.
Akhirnya Kiay Mojo dapat meredahkan emosi rombongannya, dimana kapal sudah memasuki laut Sulawesi untuk singgah sebentar di Makassar, kemudian kapal bergerak lagi dan memasuki perairan Maluku dan singgah sebentar di Ambon untuk melapor kepada Gubernur Maluku yang membawahi kresidenan Manado.
Selanjutnya Kapal melanjutkan perjalanan menuju Minahasa dan akhirnya berlabuh di Kema pantai Timur Minahasa, rombongan tetap didampingi oleh residen Jokyakarta Van Nes.
Kema pada waktu itu adalah satu pelabuhan antar pulau dengan kepulauan kepulauan di Maluku.
Pada masa itu perjalanan Betawi – Minahasa PP dilakukan melalui Ternate atau Ambon, kemudian route dirubah Betawi – Makassar – Manado.
Negeri negeri seperti Minahasa, Bolaang Mongondow, Sangir Talaud adalah wilayah kresidenan dengan ibu neger Manado dibawah pemerintahan Prefekture / ke Gubernuran Maluku dengan ibu negeri Ambon.
Dapat dibayangkan bagaimana perasaannya Kiay Mojo dan rombongan melihat kenyataan bahwa mereka telah berada disatu tempat yang sangat asing yang kondisinya dan adat istiadatnya jauh berbeda dengan tanah kelahiran mereka Joyakarta.
Kedatangan mereka disambut oleh residen, Meester in de Richten, D.F.W.Pietermaat .
Rombongan ditempatkan dikediaman Residen, kemudian bercakap cakap mengenai selama perjalanan dari Betawi – Kema.
Van Nes menyerahkan dokumen dokumen rombongan kepada Residen dan sejurus kemudian dia berkata kepada rombongan, saudara saudara, tuan tuan sebentar lagi segera akan berangkat ke Manado untuk urusan lebih lanjut bagi kepentingan tuan tuan sendiri., lalu kemudian kedua orang Belanda itu naik kereta model abad 18 menuju Manado.
Dalam pada itu sepasukan Borgo telah siap untuk mengawal Kiay Mojo dan rombongannya untuk berangkat menuju Manado.
Maka nampaklah serombongan orang orang yang masih asing bagi penduduk Minahasa dalam formasi yang teratur rapih yang dipimpin oleh Tumenggung Sis Pajang melakukan Long March melalui jalan Minawerot* yang mulai dari Kema non stop.
Akan tetapi setelah melewati Kumelembuai ( Airmadidi ) yang sekarang, Komandan pasukan Borgo memberikan abaaba untuk istirahat seketika.
Nampaknya serdadu serdadu Borgo itu sangat keletihan padahal diantara mereka itu terdapat ”Scherpspschutters” - snipeer ( penembak jitu ) namun dalam melakukan perjalan Long March itu mereka tidak biasa, hal ini berbeda dengan Kiay Maja & rombongan yang sudah terlatih bertahun tahun mendaki bukit bukit yang tinggi, melintasi tebing tebing yang curam, mendaki bukit bukit yang tinggi, disekitar gunung Merapi di Jawa Tengah itu.
Sejurus kemudian kendati masih letih dan penat Komandan Pengawal Borgo memberikan aba aba untuk meneruskan perjalanan dan apabila telah mencapai sebuah tikungan jalan dimana terdapat jembatan Panjang yakni jembatan Kairagi yang sekarang terletak di pintu gerbang pntu masuk kota Manado maka akhirnya sekarang berbalik yang seharusnya mengawal menjadi dikawal.
Disaat sat seperti itu tampil beberapa pemuda dan menghadap Kiay Mojo dengan maksud hendak melucuti senjata senjata serdadu borgo tersebut akan tetap pemuda yang tertua dari mereka segera bertindak menggagalkan maksud mereka tersebut dengan berkata, bekin susah akan menghancurkan diri sendiri.
*)Minawerot dalam bahasa Minahasa berarti berjejer.
Kampung2 yang berjejer di sepanjang jalan, yaitu mulai dari Kauditan, dekat negeri Kema sekarang, sampai kedesa Tumaluntung dekat Airmadidi yang sekarang berderet kampung2 yang tiada putus2 yang sekarang ditingkatkan menjadi jalan”Worang ByPass” langsung kekota pelabuhan Samudra Bitung.

Tak berapa lama kemudian nampak menyongsong sepasukan serdadu yang lain yang akan menghantar rombongan disuatu kompleks yang telah ditunjukkan oleh residen Manado, yaitu kompleks dimana beradanya rumah bekas tempat kediaman dari raja Manado (suku bangsa Bobentehu) dilokasi Pondol sekarang di Manado.
Sambil menunggu proses administrasi yang sedang dilakukan di Kantor Kresidenan yaitu dilokasi Kantor Gubernur yang lama di Pondol, rombongan diistirahatkan di Rumah Residen, dan selanjutnya Long March dilanjutkan lagi menuju Tondano.
Sebelum lebih lanjut menguraikan sejarah Long March Manado – Tondano baiklah kita lihat secara singkat Selayang Pandang Kota Manado pada waktu itu.

V.SELAYANG PANDANG
KOTA MANADO & MINAHASA.

Hingga tahun 1824 sebutan Manado belum terdapat dalam peta Minahasa.
Orang orang suku Minahasa lebih senang dan aman hidup di pedalaman daripada dipesisir, disebabkan oleh karena bajak bajak laut dari Mindanau Philipina yang selalu saja datang merampok, membunuh dan membakar habis negeri negeri yang berada disepanjang pantai Timur Minahasa dan sering sering juga muncul secara tiba tiba pantai Barat Minahasa, maka sebutan Manado itu tidak dikenal oleh suku bangsa Minahasa.
Jumlah penduduk Minahasa waktu itu baru sekitar 80.000 jiwa*
Manado disebut oleh mereka2 “MANAROW”/BENANG dan kadangkala disebut juga BOBENTEHU oleh karana dimasa itu di Manado didiami oleh suku Bobentehu yang berasal dari Sangir Talaud dan pernah berkuasa di Manado dan Bolaang Mongondow.
Seorang dari suku Bobentehu yang bernama “LOLODA MOKOAGOW” memproklamirkan dirinya selain menjadi raja Manado, juga menjadi raja Bolaang Mongondow.
Menurut sumber yang lain jauh sebelumnya suku Bobentehu itu itu adalah campuran Ternate,Sanger Talaud dan Bolaang Mongondow.
Mereka mereka itulah yang pertama-tama mendirikan Balok Balok
( tempat Tinggal ), yang kemudian Balok Balok itu disebut oleh suku Minahasa WALAK WALAK, dan terakhir dibahasa Minahasakan menjadi ”PAKASAAN”**
Jadi suku Bobentehu itu bukanlah suku asli Minahasa, sebaliknya apabila orang orang suku Minahasa datang pindah tempat tinggal di Manado maka mereka itu terhisab orang orang pendatang.
Jikalau seseorang suku Minahasa asli hendak bepergian ke Manado, maka tetangganya akan menyapanya dalam bahasa daerahnya, “Mange-an isako” ( Mau kemana enggkau ),maka dia akan menjawab, “Mange-an manarow”/Benang”(Pergi ketempat yang jauh/Benang ).
BENANG adalah sejenis pohon yang besar yang sangat rimbun bertumbuh di Manado menjadi tempat berlindung dikala panas terik. Kemudian dengan perubahan struktur kepemirantahan Prefektur ke Gubernuran Maluku dimana Manado dijadikan ibu negeri Kresidenan maka mulai tahun 1825 nama MANAROW/BENANG disebut dengan lidah Belanda “MANADO”.
Jauh sebelum masa itu bangsa kulit putih yang menginjakkan kakinya di Minahasa adalah Portugis dan Spanyol hingga akhir abad ke 18.
Kemudian pada abad ke 17 adalah bangsa Indonesia sendiri yaitu Sultan Hairun dan dilanjutkan oleh putranya sultan Baabullah dari ternate.

*) R.Z.Leirissa-dalam bukunya: Minahasa diawal Perang Kemerdekaan-Peristiwa Merah Putih dan Sebab Musababnya.
**) Pakasaan: Sesuatu yang dilakukan satu kali atau menyatukalikan sesuatu keseluruhan
( Kesatuan = Distrik )
Sebelumnya juga bangsa Belanda dengan VOC nya ( Vereenigde Oost Indische Compagnie) dan Inggeris.
Pada masa ini ada satu hal sangat paradox dan kontradiktif.
Ternyata Belanda pada waktu itu sedang merekrut pemuda pemuda Minahasa untuk melawan Perang Diponegoro karena VOC belum mempunyai tentara asal Minahasa.
Pada tahun 1829 Hukum Besar Tondano, Abraham Dotulong membuat perjanjian dengan residen di Manado dan menyiapkan 120 pemuda, Hukum Besar Tonsea, Lucas Pelengkahu menyiapkan 377 pemuda, Hukum Besar Sonder, Herman Willem Dotulong menyiapkan 240 pemuda, sampai mencapai jumlah keseluruhan 1.400 pemuda Minahasa yang dikirim ke Jawa.
Setelah Perang Dipanegara selesai sebahagian dari pemuda pemuda Minahasa ini pulang kembali ke Minahasa yang kemudian dikenal denagan nama KNIL ( Koninklijk Nederlandsch Indische Leger ) yang pada waktu itu merupakan kebanggan tersendiri, walaupun dikemudian hari membrontak ke Belanda karena dianggap soldadu klas II ( tidak disamakan dengan Belanda ).
Hal ini bisa terjadi karena para Kepala Walak welcome dengan Belanda ( VOC ) didalam citra perdagangan KOPI di sekitar Tondano, sehingga terjalin hubungan yang baik.
Disamping itu juga bahwa Belanda telah menguasai Minahasa melalaui peperangan yang dahsyat dengan jatuhnya benteng pertahanan Minahasa Moraya di Tondano pada tahun 1809.

VI. LONG MARCH
MANADO – TONSEA – TONDANO

Sebelum rombongan melanjutkan kembali perjalanan LONG MARC dari Manado menuju Tondano, Residen Manado Pichtermaat yang Sarjana Hukum “Meester in de Rechten” membacakan keputusan yang disaksikan oleh Residen Jokyakarta Van Nes:

“Sebagaimana tuan tuan sudah lihat, Pemerintah tidak akan mendustai kata katanya sendiri, yaitu bahwa tuan tuan akan diperlakukan dengan baik.
Sebagaimana tuan tuan sudah tahu, bahwa tindakan yang telah diambil oleh Pemerintah terhadap tuan tuan sekalian itu, dimaksudkan untuk menghentikan permusuhan yang sudah menelan korban korban manusia dan harta benda yang sangat banyak.
Sekarang tuan tuan sudah berada di Minahasa dan urusan urusan kepemerintahan terhadap tuan tuan berada ditangan kami ( Residen Manado ) melalui Konteler.
Mulai sekarang, tuan tuan sekalian dinyatakan bebas dari pada segala tindakan2 Pemerintah yang telah diambil sebelumnya, dan disini ( Minahasa ) bebas memilih tata cara kehidupan sesuai kesanggupan dari tuan tuan sendiri.
Hak hak dan kewajiban tuan tuan adalah sama dengan hak hak dan kewajiban penduduk Minahasa, yaitu tunduk pada Reglemen Reglemen Kepemerintahan, dengan syarat syarat bahwa tuan tuan jangan lagi berbuat seperti yang telah berlaku di Jawa dan janganlah mempengaruhi penduduk Minahasa untuk bersikap bermusuhan dengan Pemerintah.
Kami tahu, bahwa tuan tuan berkehendak untuk melakukan Syariat agama tuan tuan sebagaimana mestinya dan untuk itu tuan tuan tidak terlarang.
Juga kawin mawin dengan penduduk Minahasa tidak terlarang, hanya hal itu harus dilaporkan langsung kepada tuan Konteler dan apabila ada terdapat salah seorang anggota dari rombongan tuan tuan yang bermaksud kawin dengan anggota Walak Walak, hendaklah hal itu dilaporkan kepada Residen.
Kami, selaku penguasa kepemerintahan di Minahasa memintakan agar tuan tuan menjadi suri tauladan bagi penduduk Minahasa didalam Pemerintah memajukan daerah Minahasa didalam bidang pertanian, terutama persawahan dan perladangan sebagaimana hal itu berlaku di Jawa.
Untuk itu Pemerintah telah menyediakan bagi tuan tuan daerah tanah garapan yang sifatnya jauh lebih baik dari pada jenis tanah garapan di Jawa.
Tanah garapan itu berada diwilayah keperintahan tuan Konteler yang berkedudukan di Tondano.
Kepada tuan Konteler yang bertempat kedudukan di Tondano kami telah serahkan wewenang atas nama Pemerintah untuk mengatur sebaik baiknya segala sesuatu yang tersangkut paut bagi urusan tuan tuan disana, dan sekarang tuan Konteler itu menunggu kedatangan tuan tuan dan akan menyambut tuan tuan disana.
Perlu tuan tuan ketahui, bahwa menurut keputusan Pemerintah tertinggi Paduka tuan Komisaris General di Betawi, bahwa kepada tuan Kyai Mojo diberikan onderstand (tunjangan) hidup sebanyak empat ringgit sebulan, demikian pula kepada tuan tuan yang lain diberikan onderstanf sesuai kedudukan masing masing sewaktu menjabat Pati di Jawa.
Agar tuan tuan bersiaplah berangkat menuju tanah garapan itu dan untuk itu tuan tuan akan disertai oeh beberapa petugas sekedar petunjuk jalan.
Maka dengan mengucapkan Selamat Jalan dan Selamat bekerja, Meester in de Rechten residen Picteermaat mengetok palunya diatas mejanya, tanpa memberikan kesempatan sedikitpun juga kepada Kyai Mojo, selain dari pada berjabatan tangan satu sama lainnya.
Namun Kyai Maja menyadari bahwa keputusan itu mengandung udang dibalik batu.
Perjalanan Long March menuju Tondano segera dimulai dengan route Manado – Tonsea Lama – Tondano dengan jalan menyusuri aliran sungai Tondano.
Melalui tanjakan bukit bukit, jurang yang tidak terlalu dalam tidak menjadi halangan melintasi daerah dimana berada desa Kuwil yang sekarang, terus menanjak non stop hingga mencapai suatu tikungan sungai Tondano, dimana disebelah Timur sungai Tondano berada desa Sawangan yang sekarang, terus lagi menanjak melintasi dimana disebelah Timur sungai beradanya desa Tanggari yang sekarang, terus lagi menanjak sampailah mereka disuatu bukit yang bernama TASIKELA*, Long March berlanjut terus menanjak, sampai suatu saat bertemu GEROJOGAN ( Air Terjun ) yang sekarang sebagai Pusat Listrik Tenaga Air ( PLTA ) di Minahasa , setelah itu dalam perjalanan selanjutnya tidak ada lagi tanjakan bukit dan setelah sekitar 30 menit sampailah Kyai Mojo dan rombongan ditempat tujuan.
Tempat itu berada paling ujung Selatan negeri Tonsea Lama dan paling Utara ujung negeri Tondano sekarang.
Perjalan Long March ini memakan waktu kurang dari sehari, hanya sekitar delapam jam dari Manado.

*) bekas bekas jejak jejak kaki bangsa Spanyol dimana mereka mereka itu bermaksud medirikan Benteng dibukit itu pada sekitar tahun 1620).

Disatu tempat seluas setengah hektare terlihat satu bangsal (bangunan) dari bambu yang merupakan gerbang pintu batas antara Walak ( distrik ) Tonsea disatu pihak dan Walak ( distrik ) Toulour dipihak yang lain.
Lokasi itu berada ditepi Barat Sungai Tondano yang dikelilingi lapangan yang berawa melulu, melalui arah Barat rawa itu mencapai lokasi beradanya Balai Ibukota Dati II Minahasa sekarang.
Kemudian Konteler menunjukkan batas batas daerah tanah garapan kepada Kyai Mojo dan rombongannya, yaitu, Lembah berbatasan puncak bukit pegunungan Makawaimbeng ( sekarang menjadi stasiun pemancar TVRI ) disebelah Timur, disebelah Selatan berbatasan dengan kali Sumesempot yang berhulu dari pegunungan Lembean
dan bermuara disungai Tondano, terus dengan Selokan Sumalanka yang berhulu dari pegunungan Masarang dan bermuara di Sungai Tondano juga.
Disebelah Utara berbatasan dari bukit pegunungan Masarang ke bukit pegunungan Lembean kecuali negeri Tonsea Lama.

VII. TEMPAT TINGGAL PERTAMA.

Bertempat di Bangsal tadi itulah sekarang Kyai Mojo dan rombongan tinggal, sedangkan Konteler sendiri bertempat tinggal di Loji Tondano, kampung Liningaan sekarang.
Untuk sementara mereka tidak bisa berbuat apa selain berpikir bagaimana mempertahnakan hidup, dan untuk kebutuhan makan digunakan uang santunan yang diberikan Residen.
Disekitar tempat itu sejauh mata memandang seluruhnya berupa rawa rawa dan alang alang yang kelihatannya seram dan kejam.
Setiap hari siang malam hanya terdengar bunyi jangkrik dan nyamuk nyamuk yang bersliweran.
Hal ini menjadikan pertanyaan, memang apabila Kyai Mojo dan rombongan tidak punya keahlian khusus, waktu itu mungkin sudah dipastikan seluruhnya akan mati konyol disana.
Mungkin itulah yang dimaksud dalam benak Kyai Maja sewaktu dibacakan keputusan Residen Manado sebelum berangkat ke Tondano.
Dengan kondisi demikian maka Kyai Mojo dan rombongan membuat suatu rencana atau program bagaimana merubah tanah tersebut menjadi persawahan.
Rencana dimulai pada tanah rawa ditepi Timur Balai Kota Dati II Tondano sekarang hingga Tepi Barat Sungai Tondano.
Didalam perencanaan ini seluruh pengalaman dari Jawa dikerahkan untuk membuat rencana tersebut supaya menjadi kenyataan dan harus berhasil.

VIII. PERSAWAHAN PERTAMA KALI
DI TONDANO.

Setelah beberapa lama maka rencana merubah lapangan rawah menjadi lahan persawahan dimulai, dengan memanfaatkan sumber air dari pegunungan sekitarnya.
Tondano Tempo Dulu
Yang pertama dilaksanakan adalah menggali tanah ditengah lapangan rawah menuju Sungai Tondano.
Maksudnya agar air rawa yang sudah berabad lamanya itu dapat dialirkan ke Sungai Tondano sehingga disuatu saat air rawa yang sudah berwarna merah kecoklatan itu lapangan rawa itu kering dari air yang menggering.

Hal ini harus dilakukan karena sudah beberapa kali dicoba menanam padi akhirnya sebelum berbuah padi memerah dan musnah.
Hal ini diakibatkan karena tanahnya mengandung kadar alkalis yang tinggi.
Selanjutnya pada tahap berikutnya seluruh tumbuhan rawa dicabut seluruhnya dan dibenamkan kembali kdalam rawa untuk dijadikan pematang sawah, sehingga lapangan menjadi petak petak.
Setelah itu beberapa petak digemburkan untuk dijadikan pembibitan padi.
Setelah 40 hari maka padi yang sudah tumbuh dipindahkan keseluruh petak petak sawah tadi , sambil berdoa semoga usaha ini berhasil
Kemudian ternyata usaha ini berhasil dan menhasilkan panen yang banyak akhirnya mengagetkan penduduk Tonsea dan Toulour dimana akhirnya semua mayarakat dapat menikmati hasil panen padi tersebut.
Sampai saat ini persawahan tersebut masih eksis yaitu di desa We’welen ( lua’n ) dan Bacek ( Tanah Rawa ) dan Tounsaru.

IX. PEMBANGUNAN DESA MODEL BLOK
PERTAMA KALI DI TONDANO

Sesudah sekian lama Kyai Mojo tinggal di lokasi Bangsal, maka terjalinlah hubungan yang sangat harmonis dengan penduduk Tonsea Lama, saling menghormati.
Walaupun binatang peliharaan penduduk Tonsea yang waktu itu yang namanya “Kenjer” selalu saja datang mengganggu tapi binatang binatang itu tidak pernah dianiaya.
Walaupun demikian terasa perlu memindahkan tempat pemukiman karena dilokasi itu nampaknya kurang sehat ditempati untuk tempat kediaman.
Untuk menetapkan*) lokasi yang tepat dan sehat untuk pemukiman maka Kyai Mojo membuat empat buah “Anca” ( sosiru )yang terbuat dari nyiru dan masingmasing anca diisikan segumpal daging sapi, kemudian keempat anca ini diikatkan pada empat ujung bambu dan ditancapkan dikeepat penjuru sesuai batas batas yang telah ditentukan ole Konteler yaitu:

1. Dipancangkan dikaki pegunungan Masarang.
2. Dpancangkan disudut delta yang diapit kali Sumesempot sebelah Selatan dan di Barat Sungai Tondano.

*) Menentukan posisi Kampung Jawa Tondano, dalam pengertian saat ini adalah berhubungan dengan nilai kelembaban udara.

3. Di Kompleks makam Kyai Maja sekarang ( Wulouwan )
4. Disebelah Timur Tonsea Lama.

Pada waktu waktu tetentu daging daging yang digantung itu diperiksa, pada tiang bambu manakah, daging daging yang digantung itu cepat atau lama membusuk.
Ternyata setelah pengamatan maka yang tahan lama membusuk adalah daging ditiang yang ditancapkan dilokasi delta yang diapit oleh kali Sumesempot dan Sungai Tondano itu.

Maka diputuskanlah ditempat itu untuk pembangunan Desa yang sekarang menjadi desa Kampung Jawa Tondano.

Sambil menunggu proses administrasi yang sedang dilakukan di Kantor Kresidenan yaitu dilokasi Kantor Gubernur yang lama di Pondol, rombongan diistirahatkan di Rumah Residen, dan selanjutnya Long March dilanjutkan lagi menuju Tondano.
Sambil menunggu proses administrasi yang sedang dilakukan di Kantor Kresidenan yaitu dilokasi Kantor Gubernur yang lama di Pondol, rombongan diistirahatkan di Rumah Residen, dan selanjutnya Long March dilanjutkan lagi menuju Tondano.
Sebelum lebih lanjut menguraikan sejarah Long March Manado – Tondano baiklah kita lihat secara singkat Selayang Pandang Kota Manado pada waktu itu.

Tanpa disadari dengan perjalanan waktu, maka Kyai Mojo beserta rombongannya telah menciptakan suatu pemukiman baru di Tondano – Minahasa , yaitu Kampung Jawa Tondano pada tahun 1831.
Tanah Kampung Jawa Tondano adalah pemberian Negara ( Hindia Belanda ).
Residen Menado mengunjungi Kampung Jawa Tondano pada bulan October 1831, setelah lebih 1 tahun Kyai Mojo dan pengikutnya berada disana.
Residen Manado menemui dan berbicara dengan Kyai Mojo, dan pada kesempatan itu Residen memberitahukan bahwa tanah yang ditempati Kyai Mojo dan pengikutnya dan tanah yang mereka gunakan untuk bercocok tanam diberikan kepada mereka sebagai pemberian Negara.
Pemerintah Hindia Belanda membeli tanah tersebut dari pemiliknya ( Kepala Walak Distrik Tondano) namun Kepala Walak Distrik Tondano tidak mau dibayar sebagai ganti rugi tanahnya yang diambil oleh Negara untuk penempatan tahanan Negara.
Kepala Walak Distrik Tondano rela memberikan tanahnya kepada Kyai Mojo dan rombongannya.
Disini terlihat bahwa apa yang dilakukan oleh Kepala Walak Distrik Tondano, mencerminkan adanya persahabatan yang sangat erat dan juga sangat menerima kedatangan Kyai Mojo dan rombongan di Tondano.
Kedatangan Kyai Mojo dan pengikutnya yang baru 1 tahun telah menarik hati penduduk asli sekitarnya sehingga penduduk asli menghormati dan mencintai Kyai Mojo.
Hal ini disebakan karena Kyai Mojo dan pengikutnya telah mengajari penduduk setempat ( Alifuru ) bercocok tanam dan persawahan.
Hal ini sesuai kesaksian Residen Manado sewaktu berkunjung kesana dan mengajukan ke pemerintah Hindia Belanda berupa:
Permintaan 22 gulden per bulan atau 264 gulden untuk setiap bulan atau 264 gulden pertahun.
Atas permintaan Residen Manado maka pada tanggal 30 April 1839 No.117 dan rekomendasi Direktur Lands Production en Civil Magazijne tanggal 14 Juni 1839 No.2520, pemerintah memberikan uang sejumlah 500 gulden untuk membeli sapi dan menyewa pembajak untuk mengolah sawah.
Kyai Mojo hidup selama 19 tahun di Kampung Jawa Tondano, dan wafat pada tanggal 20 Desember 1849 pada usia 60 tahun.
Makamnya terletak 2 Km sebelah Timur dari Kampung Jawa Tondano bersama rombongan dan kerabatnya yang berbatasan dengan Desa Wulouan.

Beliau telah meninggalkan ajaran ajaranya bagaimana menjadi manusia yang bermartabat, hidup dalam bermasyarakat yang damai dan harus tetap bekerja dan berusaha.
Melalui Keputusan Pemerintah Republik Indonesia, Kyai Mojo dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Bangsa.

Mengingat Masyarakat Kampung Jawa Tondano lahir dari rombongan Kyai Mojo dan Wanita asli Minahsa, maka dapat dikatakan disini bahwa masyarakat Kampung Jawa Tondano saat ini sudah menjadi Etnis masyarakat Minahasa.
Orang orang Kampung Jawa Tondano selama ini tidak berpikir kalau mereka bukan orang Minahasa.

Makam Kyai Mojo

XI. KAMPUNG JAWA TONDANO
MENJADI TEMPAT PENGASINGAN

Dalam perkembangan selanjutnya Kampung Jawa oleh Belanda menjadi tempat pengasingan para Ulama terkenal yang banyak pengaruhnya dalam pembrontakan melawan Belanda.
Ulama ulama itu antara lain:
1. Dari Aceh.
- Tengku Muhamad , panglima tentara Aceh ( 1895 ).
2. Dari Padang.
- Tuanku Imam Bonjol ( 1840 ), Panglima Perang Padri.

3. Dari Palembang.
- Sayyid Abdullah bin Umar Assagaf ( 1880 ) , orang keturunan Arab bersama istrinya keturunan Eropah, Nelly Meiyer.
Gubernur Gorontalo saat ini, Fadel Mohamad salah satu kerabatnya.

- Tjotrodininggrat ( 1844 ) juga dari Palembang, adalah saudara laki laki dari Sultan Najamuddin Palembang, dimana anak laki lakinya Pangeran Nguren kawin dengan Gadis remboken fam Riet Tombeng.
4. Dari Banten.
- Haji Abdulkarim,Haji Muh. Asnawi,Haji Jaffar,Haji Mardjaya(1911)
5. Dari Surakarta ( Solo ).
- Pangeran Ronggo Danupoyo ( 1905 ), anaknya dari Sunan Pakubuwono IV – Surakarta ( Solo )
6. Dari Kalimantan.
- Gusti Perbatasari ( 1926 ), putra Sultan dari Banjarmasin Kalimantan.
7. Dari Maluku.
- Haji Saparua ( 1900 ) dari Maluku.

Selang beberapa masa yang agak panjang Kampung Jawa di Tondano merupakan salah satu pusat pengkajian ilmu agama Islam terutama penduduk disekeliling Minahasa dan Sulawesi Tengah datang untuk pangkajian agama Islam kepada alim ulama di kampung Jawa Tondano.
Pengkajian ilmu agama tersebut lebih meningkat lagi apabila di Tondano itu oleh Belanda dibuka Sekolah Raja ( Hoofden School ), dimana anak anak raja diseluruh Sulawesi Utara masuk kesekolah tersebut.
Perlu dicatat disini bahwa ada beberapa warga Kampung Jawa berhasil masuk kesekolah Belanda yang hanya diperuntukkan bagi Inlander namanya MULO, sehingga dapat berbicara bahasa Belanda.
Selanjutnya tentang perkembangan Islam di Minahasa, terlebih dahulu hedaknya diketahui bahwa hingga kedatangan Kyai Maja di Minahasa merupakan daerah tertutup bagi dunia Islam.
Dalam logat bahasa Minahasa tiada terdapat sepatah katapun juga yang berasal dari bahasa bahasa Arab, Gujarat atau sangsekerta.
Hal ini disebabkan karena penduduk Minahasa umumnya hidup dipedalaman dan bukan dipesisir sehingga tidak ada kontak dengan duna luar teruatama Islam pada eranya kesultanan Ternate.
Kembali pada penguasaan Belanda terhadap Minahasa tahun 1830, maka Pemerintah Hidia Belanda baru mendatangkan pekabar pekabar Injil langsung dari Belanda dan tiba di Tondano pada tahun 1831 yaitu J.F.Richdel dan J.G.Schwarz.
Jadi berdasarkan data ini maka yang lebih dulu menapakkan kakinya di Tondano Minahasa adalah Islam yaitu Kyai Mojo dan rombongannya.
Bedanya disini adalah Kyai Mojo tiba di Tondano bukan untuk menyiarkan Islam kepada masyarakat Minahasa, melainkan hanya semata mata untuk mempertahankan hidup dan tetap dengan keyakinanya yaitu Islam, sedangkan Belanda datang disamping menguasai Minahasa juga untuk memberikan pekabaran Injil bagi Masyarakat Minahasa dengan segala fasilitas penujangnya.
Lepas dari agama Kristen, suku bangsa Minahasa mempunyai kepercayaan tersendiri yang asli Minahasa yaitu menurut E.V.Adam didalam bukunya ”Kesusastraan Kebudayaan dan Cerita Cerita Peninggalan Minahasa” menulis:

Bahwa segala kepala kepala agama zaman purba Minahasa ( Alifuru ), apabila mereka hadir dalam upacara foso ( korban ) yaitu upacara untuk mempersembahkan sesuatu kepada Yang Maha Tinggi, maka mereka memuji dan memuja untuk menyempurnakan ketaatan mereka sambil kepala kepala agama itu melalukan corak dan bentuk persemahannya menurut ajaran dari Ilah yang pertama dan paling Tua.
Adapun Ila yang pertama dan paling Tua dan paling bijaksana itu adalah KAREMA ( Kadema ).
Menurut cerita bahwa Karema itu masuk dunia ini ia tiada dilahirkan , ia masuk dunia dengan kuasa gaib dan ajaib dengan pribadi sempurna, keluar dari pecahan batu.
Selaku Ilah ia menjadi kepala agama dan mengatur adat istiadat sambil memberikan pelajaran pelajaran.
Mula mula kepada Lumimu’ut dan To’ar.
Perkataan perkataan dan kalimat kalimat memuja dan memuji itu sekaliannya mempertinggi ,mempermulia,menghormati dan menjunjung Yang Maha Tinggi.
Kalimat kalimat itu menanamkan dengan penjelasan paling tepat bahwa adalah satu Ilah yang paling berkuasa yang bergelar:

OPO’ WAILAN WANGKO, OPOMANEMBO NEMBO, OPO RENGA RENGAN, minema tana’ wo langit ( Ilah yang kaya raya dan maha besar, Ilah yang melihat keseluruhan Dunia, Ilah yang lahir dan seumur dengan Dunia, yang sudah ciptakan Bumi dan Langit).

Pertanyaan sejak kapan kepercayaan suku Minahasa ini berawal.
Perhitungan dimulai berdasarka tahun kalender suku Minahasa.
Perhitungannya dimulai pada zaman Pembagian atau zaman PINAWETENGAN UN NUWU bertempat disuatu dataran tinggi dikaki gunung Toundurutan yang sekarang disebut Touderukan.
Untuk mengembalikan kenang kenangan zaman PINAWETENGAN UN NUWU itulah maka didirikan sebuah batu peringatan: “WATU PINAWTENGAN” ( batu tempat pembagian ) yang terletak di negeri Pinabetengan sekarang.
Alasan perhitungannya adalah sebagai berikut:

Tiap 3 garden (derajad) = 100 tahun.
Dalam tahun 1931, maka dalam simpanan beberapa keluarga di Minahasa masih ada silsilah dengan perhitungan 24 derajad.
24 derajad = 8 x 3 derajad = 100 tahun.
8 x 100 tahun + 100 tahun = 900 tahun.
Tahun 1931 dikurangi 900 tahun = 1031 tahun, itulah dimulainya ZAMAN KAREMA, LUMIMU’UT dan TO’AR.
Menurut riwayat, maka orang MINAHASA pertama ialah Lumimu’t seorang wanita.
Lumimu’ut seorang manusia legendaris, diam ditempat yamg bernama Tu’ur in tana’ ( tanah leluhur ).
Ditempat ini secara legendaris pula diceritakan kelahiran anaknya laki laki TO’AR.
Setelah ia dewasa atas sesuatu anjuran, ibu dan anak mengelilingi dunia untuk mencari jodoh masing masing.
Setelah mereka bertemu disuatu tempat mereka mempersamakan tongkat yang ada pada masing masing .
Setelah mereka bertemu disuatu tempat mereka mempersamakan tongkat yang ada pada masing masing ( tongkat tongkat itu terdiri dari batang goloba ( Tuis ) dan ternyata bahwa tongkat tongkat itu tidak sama panjang lagi, maka ini berarti bahwa mereka bukan ibu dan anak, tetapi asing satu sama lain.
Kemudian mereka menjadi suami istri.
Turunan mereka ada banyak sekali yang sekarang ini adalah suku Minahasa.
Oleh karena itu maka tanah Minahasa disebut juga ”TANAH TO’AR DAN LUMIMU’UT”.

XII.INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT
MINAHASA

Masyarakat Kampung Jawa Tondano sudah merupakan satu kesatuan dengan masyarakat Minahasa.
Coba disimak apa kata para kepala Walak Tonsea, OPO RUNTUPALIT RUMBAYAN (OPO’ SOKOMEN) dengan Kepala Walak Tondano, OPO’ TOMBOKAN dalam dialaog berikut ini.

Opo’ Sokomen : Inikah mereka mereka itu orang Jawa yang digambarkan oleh Belanda kepda kita sebagai orang buangan, karena suka melawan dan berontak?
Opo’ Tombokan : Ya, mereka berontak kepada Belanda tetapi tidak terhadap kita.
Lihat saja adat mereka mereka adalah baik baik.
Yang muda muda itu sangat hormat dan turut semua nasihat orang tua tua.
Kita tidak boleh terlalu percaya kepada Belanda, siapa tahu dia mau kasih berkelahi kitaorang dengan orang orang Jawa tadi.
Opo’ Sokomen : Siapa pula lagi yang suka berkelahi dengan orang orang yang selalu bersebahyang itu dan sesudah itu segeralah mereka kepekerjaan masing masing.
Sesungguhnya kita harus mengikuti contoh contoh yang mereka sudah lakukan, terutama tentang bercocok tanam.
Opo’ Tombokan : Saya merasa sangat tertarik kepada orang orang muda Jawa itu yang punya mata tajam semacam mata burung alap alap, sambil menunjuk kepada Ghazali Mojo, anaknya Kyai Mojo.
Opo’ Sokomen : Tetapi itu pemuda Tumenggung Sis yang punya urat kawat tulang besi itu dalam segala hal sangat mengagumkan.
Dia sedikit bicara banyak bekerja.

Akhirnya dikemudian hari Kyai Ghazali Mojo menjadi anak mantu Opo Tombokan dan Tumenggung Sis Pajang menjadi anak mantu dari Opo Sokomen Rumbayan.
Adapun pandangan dari pada dialog diatas tidak mungkin keliru, karena seseorang yang menjabat Kepala Walak sekaligus ia adalah Pengetua Adat yang disegani dan dihormati.
Adat Minahasa adalah:
“I PA TU TUA PELE PELENG, I PATU TUA NI BAYA WAYA”
Orang tua dihormati oleh yang muda muda dan menuruti nasihat nasihat.
Ini adalah tanda tanda budi pekerti yang tinggi.
Selanjutnya oleh karena persahabatan Kyai Mojo dengan Kepala Walak Tonsea dan Tondano semakin erat, disuatu saat dia menyampaikan lamaran kepada Opo Sokomen untuk melamar putri bungsunya yang bernama Wurenga ,umur 17 tahun bagi senopatinya Tumenggung Zees Pajang secara Islam yang umurnya 20 tahun. , dan peminangan akan dilakukan oleh tuan Residen dari Manado.
Walaupun Opo Sokomen yag fanatik keras dengan adat Minahasa dan berfikir keras mengenai “secara Islam” tapi akhirnya dia menyetujui maksud itu karena sudah lama Opo Sokemen mengaguminya dan juga putrinya ada menaruh hati.
Demikianlah, maka residen Pietermaat tidak membohongi kata katanya dahulu, segeralah dia dengan menunggang kudanya diikuti oleh ajudannya menuju Tonsea Lama untuk melakukan peminangan kepada Pangatua Adat Walak Tonsea Runtupalit Rumbayan, memperjodohkan pemuda Tumenggung Sis Pajang dan putri bungsu Opo Sokomen, Wurenga.
Dan sebagai oleh oleh untuk kedua calon pengantin itu residen Pietermaat menghadiakan seperangkat pakaian kawin kha kraton Jokyakarta yang telah dipesan melalui reside Joyakarta Van Nes.
Sebelum pesta dilangsungkan maka Runtupalit Rumbayan mengundang kaum krabatnya yang berada di Kema, Amurang.
Maka datanglah memenuhi undangannya yaitu Opo Tumbelaka bersama keluarganya dari Amurang termasuk dua putrinya.
Demikian juga yang hadir adalah Penetua adat Toulour ( touliang-Toulimabot ) diantaranya terdapat Opo’Tombokan beserta keluarganya dan putrinya bernama Ringkingan.
Maka pesta perkawinan itu dilaksanakan secara Islam, berlangsung dirayakan, dengan menurut adat istiadat Minahasa disatu pihak dan adat Jawa dipihak lain selama tujuh hari tujuh malam.
Perayaan dimeriahkan dengan tarian Maengket dan Masambo yang dibawakan oleh Tona’as Tona’as sebagai dalang dan diikuti oleh masyarakat sekitarnya dimana terdapat puluhan gadis gadis Minahasa yang cantik cantik, dan tarian tarian Jawa.
Adegen adgen itu yang telah dipertontonkan telah membuat gadis gadis lainnya terpesona dan terjadilah perkawinan selanjutnya.

Kyai Ghazali Mojo putra Kyai Mojo dengan putri gadis terbungsu Opo’ Tombokan, pendiri Negri Tondano di Papal ( Uluna ), hulu sungai Tondano bagian Barat ( Tondano Tua ).
Tumenggung Reksonegoro Kyai Pulukadang dengan salah seorang putri Opo’ Tumbelaka dari Amurang ( Minahasa Selatan ).
Tumenggung Bratayudo dengan salah satu putri Opo’ Tumbelaka juga.
Ngiso (Isa) Pulukadang dengan putri dari Opo’Pakasi Warouw.
Dan masih beberapa lagi pemuda dari rombongan yang kawin dengan gadis gadis Minahasa.
Dengan demikaian maka nama nama kelurga ( marga, Fam ) seperti : Wagey, Maukar, Ranti, Ratulangi, Kawilarang, Kumaunang telah mengasimiliser dengan nama nama dari orang Jawa itu.
Didalam perkembangan selanjutnya menyusul nama nama fam, Malonda, Lengkong,Supit,Karinda,dan masih banyak lagi.
Masyarakat Kampung Jawa Tondano, mengikuti kebudayaan Minahasa dengan memakai nama Fam ( Marga ) dibelakang namanya, tidak seperti di Jawa ( tidak memakai Marga ).

XII. POPULASI PENDUDUK
KAMPUNG JAWA TONDANO.

Berdasarkan data data dan sensus penduduk maka populasi penduduk Kampung Jawa Tondano adalah sebagai berikut:

1830 - 60
1846 - 273
1854 - 315
1902 - 1300
1965 - 2015
1976 - 2120
2007 – diperkirakan saat ini 50.000 Orang dengan uraian:
5.000 orang Di Kampung Jawa Tondano.
20.000 orang tersebar dibeberapa daerah Minahasa seperti Manado,Pineleng,Sarongsong,Winetin,Doloduo,Tumpaan,Bitung.
25.000 orang diluar Minahasa, Gorontalo, Maluku, Jakarta, serta di daerah lain di Indonesia.
Dengan adanya data ini kalau diuruti sejak kedatangan pertama kali, dimana jumlahnya hanya 60 orang atau hanya sekitar 0,001% dari seluruh penduduk Minahasa pada waktu itu yang berjumlah 80.000 orang.
Saat ini peta Minahasa sudah berubah, dimana jumlah penduduk Kampung Jawa Tondano yang ada di Minahasa sudah berjumlah 25.000 orang dari total 304.298*) orang penduduk Kabupaten Minahasa ( Induk ) atau sekitar 8,2%.

*) Sumber Pemda Kabupaten Minahasa ( Induk )

PENDUDUK KABUPATEN MINAHASA
Jumlah penduduk Kabupaten Minahasa sampai dengan bulan Juni tahun 2006 ,adalah 304.298 Jiwa.
kabupaten Minahasa memiliki masyarakat dengan dominasi etnis minahasa yang mendiami daerah pegunungan dan pesisir yang tersebar dalam 18 kecamatan.
Jumlah penduduk dan kepadatannya menurut kecamatan adalah sebagai berikut :

KECAMATAN JUMLAH
PENDUDUK KEPADATAN
PER KM
TONDANO UTARA 10.064 374
TONDANO BARAT 18.588 547
TONDANO SELATAN 17.196 126
TONDANO TIMUR 13.903 381
LANGOWAN BARAT 18.873 364
LANGOWAN SELATAN 8.057 15
LANGOWAN TIMUR 17.773 130
KAKAS 22.177 184
TOMPASO 14.535 491
REMBOKEN 11.488 202
KAWANGKOAN 26.218 532
TOMBARIRI 25.512 180
SONDER 18.114 319
ERIS 12.843 320
LEMBEAN TIMUR 8.855 131
KOMBI 11.133 92
PINELENG 34.822 250
TOMBULU 14.147 164
JUMLAH 304.298 273

XIII. EXPANSI KAMPUNG JAWA TONDANO

Mengingat jumlah penduduk Kampung Jawa Tondano bertambah, sedangkan lahannya hanya itu itu saja, masih seperti dulu, maka masyarakat Kampung Jawa harus mencari alternatif untuk mencari tempat tinggal.
Dapat dijelaskan disini bahwa masyarakat Kampung Jawa Tondano sejak dulu sampai sekarang tidak pernah melakukan usaha usaha untuk memperluas lahan Kampungnya, oleh karena adanya SALING MENGHORMATI TETANGA TETANGGANYA.
Maka beberapa waktu kemudian dengan adanya hubungan yang sangat baik dengan masyarakat Minahasa sekitarnya dan juga dalam usaha perdagangan maka kampung Jawa kecil bermunculan antara lain:

1. Di desa Lotak dan diberi nama Pineleng.

2. Disebelah Utara Kampung Jawa, yang berdekatan dengan Tonsea Lama yaitu Tegal Rejo.

3. Di sebelah Timur Pegunungan Lembean dan diberi nama menurut bahasa daerah Tonsea “Winetin” artinya dipilih.

4. Disebelah Barat Daya pegunungan Masarang di Tomohon diberi nama “Sarongsong” artinya mata air.

5. Di Tuminting disebelah Utara Manado diberi nama Sumompo.

6. Yang terbesar adalah exodus ke Gorontalo yaitu di Kampung Reksonegoro dan Kampung Yosonegoro, dan walaupun mereka di Gorontalo bahasa mereka sehari hari adalah bahasa Tondano.

7. Di Amurang Minahasa Selatan yaitu di Tumpaan.

8. Di Tompaso Baru Minahasa Selatan yang berbatasan dengan Bolaang Mongondow ( Bojonegoro ), pada waktu program Kolonisasi – Watuseke ( 1924 ).

9. Di Dolodu’o – Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow.

10. Di Jailolo Halmehera – Maluku.

11. Di Bitung didesa Girian.

(www.paguyubanpulukadang.com)

5 comments

  1. Anonymous  

    September 21, 2013 at 6:41 AM

    kasihan org minahasa keparat penjilat pantat belanda...bangga dengan status sbagai kacung penjajah...hahaa

  2. Anonymous  

    November 18, 2013 at 10:40 PM

    kasihan???ga salah??? kesaktian diponegoro kenapa luntur ditangan majoor dotulong dkk yg di cap KAFIR OLEH ISLAM, saya mau tanya dimana ilmu yg didapat di gua selarong???ato kyai Maja, spiritual advisor apa kerjanya dia?tidur? copot saja itu sebutan kyai...kenapa kesaktian ilmu kebal, bisa menghilang,menjadi harimau sekalipun rontok semua ditangan orang minahasa, kenapa ALLAH SWt, tidak mampu melindunginya, ini sebabnya juga mengapa pasukan muslim waktu menyerang eropa, juga kandas oleh Charles Martel, mungkinkah ini Divine Intervension??saya menduga masih ada OPO-OPO yg lebih tinggi dari agama orang arab.itu aja

  3. Anonymous  

    June 12, 2017 at 12:43 PM

    Menarik membaca sejarah orang Jawa di Minahasa dan saya ingin berkunjung ke Tondano untuk melihat keadaan dan perkembangan keturunan orang Jawa di sana.

  4. Unknown  

    October 7, 2021 at 5:56 AM

    Setahu saya ada seorang Ulama dari daerah kendal yaitu KH.Ahmad Rifa'i juga dibuang belanda ke tondano. Tapi saya tidak mendapat informasi tentang beliau disini. Mungkin ada yang bisa menambahk an informasi tentang KH.Ahmad Rifa'i ini.

  5. SMS  

    October 31, 2021 at 7:07 AM

    mungkin belum tertulis Saja, saya penha kesana Tahun 2018 , dan melihat Nisan Kyai Ahmad Rifai tak jauh dari makam Kyai Mojo

Artikel Terakhir

Komentar Terakhir

Website Tentang Sulawesi Utara

  • Bunaken
  • North Sulawesi
  • Tou Minahasa
  • World Ocean Conference