Waruga

Waruga, Rumah bagi Badan yang Akan Hancur


Kompas/agus susanto

JIKA Anda pencinta komik Asterix, Anda pasti mengenal si gendut Obelix yang mampu mengangkut sebongkah besar batu megalitik di balik punggungnya. Anda boleh terkikik melihat ulah konyol Obelix yang doyan makan itu.Tawa terkikik Anda akan berganti decak kagum nyaris tidak percaya, saat Anda mendengar kisah betapa sakti dan perkasanya orang-orang kuno Minahasa yang hidup pada zaman megalitik hingga 150-an tahun lalu di jazirah utara Pulau Sulawesi. Mereka dipercaya dapat mengetahui kapan hidup mereka akan berakhir, dan sehubungan dengan itu mereka mengangkat sendiri bongkah batu besar untuk kuburan mereka.
Dengan tangan kanan memegang batu yang disunggi di atas kepala, sambil berjalan kaki menuju ke tempat yang mereka tentukan sendiri sebagai lokasi kubur, tangan kiri mereka menangkap ikan di sungai-dengan tangan kosong. Setelah sampai di tempat yang mereka pilih, batu itu akan menjadi kuburan si pembawanya.

Kuburan batu berukuran lebar 50 cm hingga satu meter, panjang 50 cm hingga satu meter, dan tinggi sekitar satu meter itu disebut waruga. Balok batu tersebut berongga, dan di dalam rongga itulah orang-orang kuno Minahasa dikubur dalam posisi jongkok. Sebagai penutup bagian atas, digunakan cungkup yang berukir atau berpahat keterangan atau profesi si mayat sebelum meninggal.

Cungkup berpahat atau berukir binatang menandakan mayat yang dikubur di dalam waruga itu semasa hidupnya adalah seorang pemburu. Cungkup bermotif perempuan yang sedang melahirkan menandakan mayat yang dikubur di dalam waruga tersebut semasa hidupnya adalah seorang dukun beranak. Sementara, cungkup yang bermotif beberapa orang sekaligus menandakan yang dikubur di dalam waruga itu adalah satu keluarga utuh, yang meninggal dan dikubur satu persatu.

Ada pula cungkup yang polos, tanpa ukiran dan pahatan apa pun. Cungkup polos itu menandakan waruga berusia jauh lebih tua dibandingkan waruga lainnya, berusia lebih dari 1.200 tahun. Pada zaman itu, budaya mengukir dan memahat cungkup dengan keterangan atau profesi belumlah "ngetrend".

Di dalam setiap waruga, si jenazah dikubur dalam posisi jongkok di atas benda-benda bekal kuburan, yang dapat berupa parang, gelang, manik-manik, piring, padi, uang benggol, mangkuk, sendok, kolintang, dan beberapa benda lain. Namun, kini tidak ada lagi benda-benda bekal kuburan yang dapat dijumpai di dalam waruga, karena benda-benda itu sudah diamankan di museum.

Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga merupakan gabungan dari dua kata, yakni wale dan maruga. Wale berati rumah, dan maruga berarti badan yang akan menjadi hancur. Sementara, posisi jongkok mayat yang dikubur di dalam waruga erat kaitannya dengan posisi bayi yang jongkok di dalam rahim ibu. Filosofinya, manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok, dan semestinya mengakhiri hidup dengan jongkok pula. Dalam bahasa setempat, filosofi ini disebut whom.

Di seluruh Minahasa tersebar sekitar 1.700 waruga di beberapa kompleks waruga, yang terkonsentrasi di bagian utara Minahasa. Sebagian besar waruga merupakan kuburan prajurit perang (waraney) dan tokoh masyarakat (walian). Dua kompleks waruga terbesar adalah kompleks waruga Airmadidi Bawah dan kompleks waruga Sawangan. Keduanya berada di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Di kompleks Airmadidi Bawah terdapat 153 waruga, dengan waruga termuda bertanggal wafat 26 Juli 1947. Sebanyak 152 waruga berjejer dalam 10 baris dengan jarak antar-waruga sekitar 2-3 meter. Sebuah waruga terbesar berdiri menyendiri di bagian depan, di sebuah pendopo permanen. Waruga tersebut adalah kuburan Opo Wagiu bergelar Timani Oeng Koemelemboeai, yang dalam bahasa Tonsea berarti penemu kampung yang memancarkan air dari dalam tanah-yang kemudian disebut airmadidi.

Warga setempat percaya, Opo Wagiu adalah salah seorang dari sembilan dotu (utusan Toar Lumimuut, nenek moyang orang Minahasa). Di Watu Pinawetengan, Toar Lumimuut memerintahkan kesembilan dotu itu untuk menyebar ke sembilan daerah untuk masing-masing memimpin satu suku. Namun, hingga saat ini tidak ada satu pun catatan resmi siapa saja kesembilan dotu itu.

Menurut Johan Mandagi, juru kunci kompleks waruga Airmadidi Bawah yang dijumpai akhir April lalu, ke-153 waruga itu masih berada pada posisi awal saat waruga-waruga itu ditemukan, tanpa perubahan letak dan pemindahan. Pemugaran tahun 1998 hanya dilakukan untuk mengangkat benda-benda bekal kubur, yang selanjutnya disimpan di museum yang berada di sebelah kompleks waruga.

Kini, hanya waruga Opo Wagiu saja yang masih memiliki bekal kubur.

Di museum yang dibuat seadanya itu (berupa sebuah rumah panggung kayu), benda-benda bersejarah tersebut hanya dibungkus plastik kresek warna hitam dan digeletakkan di lantai. Di antara benda-benda bekal kubur yang diangkat dari waruga itu, Johan menunjukkan uang benggol menunjukkan angka tahun 1650.

Tidak ada pagar yang mengelilingi museum, tidak ada rak kaca untuk memajang benda-benda bersejarah itu, dan tidak ada sambungan listrik untuk menerangi museum. "Saya percaya ada KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dalam pemugaran yang dilakukan tahun 1998. Coba ngana lihat sendiri, barang-barang ini tidak terurus. Kalau malam gelap gulita. Biar saja, kalau hilang dicuri orang, torang punya alasan... habis gelap, bagaimana lagi?" kata Johan, yang sudah 23 tahun menjadi juru kunci di sana.

Di samping itu, tambah Johan, kompleks waruga tersebut tidak mempunyai WC umum sebagaimana yang dijanjikan pada awal proyek pemugaran. "Turis-turis yang datang harus numpang buang air di rumah seorang penduduk, pinjam de pe WC. Kalau terus-terusan begitu, itu merepotkan orang toh?" sambungnya.

***
SEKITAR empat kilometer dari kompleks waruga Airmadidi Bawah, terdapat kompleks waruga tidak terurus di Kelurahan Raprap. Di sana berdiri 33 waruga, yang sebagian besar sudah tertutup ilalang dan tanaman merambat. Tahi sapi dari yang masih basah hingga yang sudah kering berserak di sana-sini. Kawat berduri yang memagari kompleks waruga itu pun sudah doyong dan berantakan. Di antara waruga-waruga itu, terdapat waruga berukirkan nama Opo Mingki Koemekoko. Itulah satu-satunya waruga yang memiliki nama.

Menurut pemuda setempat bernama Kris Karamoy, pemerintah daerah dan warga Raprap memang tidak mengurusi waruga tersebut. "Dulu, ada Opa Maxi Wenas yang mengurus waruga-waruga ini. Sepeninggal Opa Maxi tahun 2001, tidak ada yang menggantikannya. Warga di sini taat beribadah, sehingga tidak mengurusi waruga-waruga ini. Waruga dianggap berhubungan dengan hal-hal mistis," paparnya.

Menurut Kris, waruga-waruga di Kelurahan Raprap itu adalah waruga-waruga tertua di Minahasa. Awalnya, waruga-waruga tersebut tersebar di Kecamatan Airmadidi. Baru pada sekitar tahun 1970 waruga-waruga itu dikumpulkan di Keluarahan Raprap. "Itu atas prakarsa Gubernur HV Worang, yang memang punya kepedulian besar terhadap adat-istiadat kuno Minahasa," kata Kris.

Meskipun sudah taat beribadah dan hal itu menjadi alasan warga setempat membengkalaikan kompleks waruga itu, hingga saat ini warga Kelurahan Raprap masih percaya akan khasiat benalu yang tumbuh di pohon dudi. Benalu tersebut hanya tumbuh di pohon dudi, yang ada persis di sebelah waruga Opo Mingki. Benalu itu sama sekali tidak dijumpai pada pohon-pohon lain di sekitar kompleks kuburan batu tersebut, yang didominasi oleh pohon duku dan langsat.
***

BERBEDA dengan kompleks Airmadidi Bawah, kompleks waruga Sawangan berikut museumnya telah tertata dengan baik. Jika Anda mengira nama Sawangan tersebut ada kaitannya dengan sebuah daerah yang juga bernama Sawangan di Bogor (Jawa Barat), Anda benar. Nama Sawangan yang ada di Bogor memang berasal dari nama Sawangan di Minahasa, yang artinya hidup gotong royong. Tokoh setempat yang bernama Jusuf Mantiri-lah yang membawa nama Sawangan ke Bogor, menjadikannya sebagai nama sebuah daerah di kota hujan itu.

Di kompleks waruga Sawangan terdapat 144 waruga, termasuk waruga Jusuf Mantiri yang berdinding kaca. Juru kunci kompleks waruga Sawangan, seorang wanita bertubuh besar bernama Olce Kambong menjelaskan, ke-144 waruga itu berasal dari tempat-tempat yang berbeda. Waruga-waruga itu dikumpulkan pemerintah dan disatukan di kompleks tersebut pada tahun 1817.

Dengan fasih Olce menerangkan, mulai tahun 1800 penguburan mayat di dalam waruga dilarang pemerintah, karena waktu itu mulai berjangkit penyakit tipus dan kolera. "Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus dan kolera, melalui celah yang terdapat di antara badan waruga dan cungkup waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen yang mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa," jelasnya.
Di Sawangan, masih terdapat waruga bercungkup polos (tanpa ukiran dan pahatan), yang sudah berusia sekitar 1.200 tahun. Sementara, waruga yang cungkupnya bermotif berusia 400-500 tahun. Salah satu waruga di sana memiliki motif cungkup perempuan sedang melahirkan. "Itu bukan berarti si mayat meninggal di saat melahirkan, melainkan sepanjang hidupnya dia adalah bidan (dukun beranak). Sampai sekarang, ibu-ibu yang susah mendapatkan keturunan sering berziarah di waruga bidan tersebut, dan memohon diberi kemudahan mendapatkan anak.

Banyak permohonan terkabul," kata Olce.
Bisa Anda bayangkan, betapa perkasanya seorang perempuan dukun beranak berjalan kaki mengangkat sebongkah batu besar untuk kuburnya sendiri?

0 comments

Artikel Terakhir

Komentar Terakhir

Website Tentang Sulawesi Utara

  • Bunaken
  • North Sulawesi
  • Tou Minahasa
  • World Ocean Conference