Cina Menghina, Tionghoa Menghibur
Remy Sylado *) NAGA-NAGANYA tiada seorang pun Tionghoa di Indonesia, terutama dari golongan tua, yang terhibur hatinya mendengar sebutan Cina baginya. Warga Tionghoa lebih suka menyebut dirinya Tang Lang, yang ada hubungannya dengan dinasti Tang, atau Han, yang ada hubungannya dengan dinasti Han. Sedangkan bahasa baku yang acap diucapkan oleh Tionghoa berpendidikan Mandarin adalah Chung Kuo Ren, yang artinya orang dari negeri Tiongkok.
Perkataan Cina dalam bahasa Indonesia—jadi bukan bahasa Belanda atau Inggris—mengandung makna pengejekan, penistaan, penghinaan. Hal itu tersua dengan kentara dalam ungkapan-ungkapan bahasa Indonesia yang menaruh per-kataan Cina pada hubungan perkara yang tidak bagus. Dapat disimak, baik dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta maupun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Moeliono dan tim, lema bagaimana Melayu menaruh per-kataan Cina pada konteks tak senonoh. Misalnya, untuk menyebut gaduh, ungkapannya adalah "Cina karam"; untuk menyebut kuli tambang, ungkapannya "Cina kolong"; untuk menyebut muhalil, ungkapannya "Cina buta"; untuk menyebut anjing kurus, ungkapannya "Cina beranak selusin".
Tapi ungkapan "akal Cina" gerangan lebih bagus tinimbang "akal Keling" karena yang pertama berarti pandai berniaga, sementara yang kedua berarti pandai menipu. Bersamaan dengan itu, sebagian Tionghoa lazim pula menyebut pribumi sebagai hu-hua, yang biasanya terlafazkan sebagai wanna. Arti sebenarnya perkataan ini tak lebih adalah bangsa di luar Chung Kuo atau Tiongkok. Namun, acap oleh mereka yang geram pada ulah pribumi, sebutan ini cenderung diartikan sebagai bangsa yang tak beradat. Perkataan Cina menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi sejak abad ke-19.
Pada 1854, pemerintah kolonial di bawah Van Twist mengeluarkan Regeringsreglement yang membagi penduduk Hindia-Belanda dalam tiga golongan mirip kasta dan dengannya bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), yaitu de Europeanen, kemudian de vreemde oosterlingen yang antara lain Tionghoa, dan de inlanders. Padahal, sebelum itu, pada 1838, di masa De Eerens, melalui Burgelijk Wetboek, pemerintah kolonial mengatakan, dengan tidak tulus, bahwa semua orang yang berdiam di Hindia-Belanda otomatis menjadi warga Nederland. Di saat ketika pelan-pelan mengakar eksklusivisme SARA tersebut—yang notabene mempertentangkan bukan semata-mata masalah "pendapat", melainkan "pendapatan", yaitu persaingan pasar yang didistorsikan oleh perbedaan agama, arkian sebuah lembaga bernama Het Genootschap voor In-en-Uitwendige Zending, yang didirikan oleh Anthing dan bekas Residen Tegal Keuchenius, pada 1856, membawa seorang evangelis dari Chung Kuo, yaitu Bok Su Gan Kwee, untuk mengkristenkan Tionghoa di sini. Buahnya benar-benar berhasil setelah 50 tahun kemudian, memasuki abad ke-20, yang dimulai dari berdirinya klasis jemaah Kristen, Khu Kwee, di luar lembaga Hwee Koan. Sejak saat itu, istilah Tionghoa menjadi resmi. Dalam kepentingan Kristen, perkataan Tionghoa, jika ditulis dengan huruf Cina, yaitu tulisan yang berkembang dari piktografi ke ideografi lantas kaligrafi, antara Tiong atau Chung, dan Hoa atau Hua, wujudnya dianggap mengandung lambang-lambang salib. Selain itu, memang pada tahun-tahun berikutnya, dimulai persisnya pada tahun lahirnya Sumpah Pemuda, 1928, jemaah Kristen di Batavia menetapkan perkataan Tionghoa bagi nama gerejanya—gereja dalam arti kyriakon dan ekklesia—yaitu Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee atau Cia-Im-nya Chung Hua Chi Tu Chiao Hui. Akhirnya, hampir bisa dikatakan bahwa gerejalah yang berperan mengkhalayakkan perkataan Tionghoa sebagai sebutan beradab.
Sekaligus tak boleh kiranya disangkal bahwa gerejalah pula yang berandil membangkitkan eksklusivisme baru melalui kongregasinya—yang secara spiritual berkait pada teologi Pietisme abad ke-19—melalui sejumlah liturgi berpola revival, dan katakanlah et sic ceteris, melahirkan apa yang galib diisyaratkan sebagai keperlentean-keperlentean gerejawi dan kejemawaan-kejemawaan rohani. Akibatnya, terbentang di situ prasangka-prasangka SARA yang sewaktu-waktu dapat meletuskan pertikaian fisik satu arah. Jelasnya, yang terkalahkan secara ekonomi cenderung memperalatnya sebagai cara balas dendam dari peperangan yang tidak satria. Maka, patut dipersoalkan, di manakah gerangan hasil hubungan mesra dari lintas budaya yang pernah terjalin secara alami sejak awal tarikh Masehi, dari zaman Han, Tang, Ming, bahkan Manchu.
Pada keempat zaman itu, pribumi memandang Chung Kuo Ren sebagai saudara tua yang mengajarkan kebajikan. Di zaman Han, Wang Mang mengirim utusan ke Indonesia untuk menangkap badak sekaligus mengajarkan beternak hewan buas. Di zaman Tang, bersamaan masanya dengan pemerintahan Sailendra, Hwi Ming datang ke Borobudur, mengajarkan musik dan meninggalkan pengetahuan skala pentatonik khas Cina, huang-mei-tiau, yang diambil alih menjadi titilaras slendro. Untuk nada kromatik ini, peneliti etnomusikologi Belanda, Brandt-Buys, menyimpulkan sebagai titilaras paling tua yang dapat dilacak pada semua tembang dolanan-lare. Pengaruh Cina paling besar mungkin dibawa oleh Cheng Ho atau Sam Po Kong dalam pelayaran muhibahnya yang paling agung dalam sejarah. Dengan 62 kapal dan 27.800 laskar, ia singgah di beberapa kota pesisir utara Jawa, antara lain berkhotbah Jumat. Banyak kias yang disajikan dalam khotbahnya itu dipetik dari cerita-cerita rakyat Cina. Salah satu di antaranya, Joko Tarub, kini telah menjadi bagian kekayaan susastra Jawa. Itu belum termasuk pengetahuan tentang sutra dan keramik yang diberikan kepada pribumi dan merupakan pujian dan terima kasih kepada dinasti Ming.
Tak kalah penting disebut, di zaman Manchu, akibat pembantaian yang dilakukan Valckenier di Batavia, 1740, dua tahun setelah itu, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Thendens, di pesisir utara Jawa Tengah bagian timur, antara Lasem, Juwana, Rembang, dan Grobogan, tampil dua orang pendekar, Tan Pan Tjiang dan Oei Ing Kiat, yang memimpin rakyat untuk perang melawan Belanda. Bukan hanya per-lawanannya yang penting, tapi juga ikhtiarnya untuk mengajar rakyat merakit senjata. Kedua tokoh yang tidak dicatat dalam sejarah resmi Indonesia ini oleh kalangan Tionghoa pun dikenang hanya sebagai Gi Yong Kong yang artinya "Dua Kakek Perkasa Berbudi" dalam arca berbusana Qing di kelenteng Lasem. Jadi, yang hendak dikatakan, memang hubungan munasabah dalam kerangka senasib-sepenanggungan merupakan elan Tionghoa-Pribumi. Ini terjadi selama masa penjajahan Belanda hingga tahun keluarnya peraturan pemerintah kolonial yang bernuansa SARA tersebut di satu pihak dan eksklusivisme gerejawi di lain pihak.
Bahkan, jika hendak mundur lebih ke belakang, ke masa sebelum Masehi, dengan memeriksa beberapa kata bahasa Cina yang telah membumi, khususnya di Sunda dan Minahasa—keduanya kebetulan memiliki mitologi yang mirip kisah Oedipus—betapa tiadanya masalah di akar kemanusiaan Indonesia di awal sejarah; tidak seperti sekarang yang terlihat sebagai api dalam sekam. Dalam buku saya 9 Dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing dapat dibaca beberapa kata bahasa Sunda yang boleh disangka bertalian dengan bahasa Cina. Misalnya, ci pada sejumlah nama sungai berasal dari bahasa Cina cui. Dalam filsafat Cina dikenal amsal "Tiada kehidupan tanpa air." Kemudian kata bahasa Sunda yang berhubungan dengan pertanian, misalnya wuluku, hongkui, pacul, galeng, pangkeng, dan seka, semuanya berasal dari bahasa Cina. Yang lebih khas, bentuk tubuh, kulit kuning, dan mata sipit pada sebagian besar orang Minahasa, ditambah mitologi tentang pitarahnya, memperjelas Cina di sini inklusif.
Dikisahkan bahwa Lumimuut dan Toar adalah manusia pertama di Malesung. Lumimuut hamil oleh pacarnya dan hal itu menggeramkan ayahnya. la diusir dari negerinya di utara, diberi kapal, dan terserah nasib ke mana ia terdampar. Ia sesat di Malesung, ditemukan Karema, yang membantu persalinannya. Semua nama dalam mitologi ini berasal dari bahasa Cina belaka. Lumimuut berasal dari bahasa Cia Im: lu berarti jalan, mi berarti sesat, mu berarti ibu, dan ut dari bahasa Hok Kian hut berarti nenek moyang yang didewakan. Toar berasal dari to dan erl artinya anak yang lahir di bumi baru. Malesung dari ma-lay-sung berarti nyanyian puji bagi pertiwi. Dan Karema dari ka-re-ma berarti ibu yang tua. Seandainya tidak ada Belanda, mungkin tak akan pernah ada cerita tentang politik pecah belah, adu domba, divide et impera.
Apa boleh buat, dalam ketidakbecusan mengelola diri sendiri, selalu, kita paling suka menyebut Belanda sebagai kambing hitam. Kita tidak pernah mengatakan bahwa sebetulnya kitalah yang bedebah. *) Penulis novel Ca Bau Kan dan puluhan naskah drama, di antaranya Siau Ling.
0 comments
Post a Comment