GMIM MASA PERGOLAKAN PERMESTA
Gerakan Perjuangan Semesta (disingkat Permesta) lahir tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, dengan Proklamasi dan Piagam Perjuangan Semestanya. Dalam proklamasi yang ditandatangani Letkol Ventje Sumual ini disebutkan “Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya, dan Rakyat Daerah di Indonesia Bagian Timur pada khususnya ...,” dengan penegasan “... segala peralihan dan penyesuaiannya dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia.”
Gerakan ini memperjuangkan otonomi luas bagi daerah dengan komposisi untuk daerah surplus PAD adalah 70% dari pendapatan daerah untuk derah dan 30% untuk pemerintah pusat, sedangkan untuk daerah minus adalah 100% pendapatan daerah untuk daerah ditambah subsidi dari pemerintahan pusat untuk pembangunan vital selama 25 tahun.
Gerakan ini mendapat banyak tantangan dan hambatan dari Pusat, terutama PKI sehingga dengan terpaksa Permesta mengambil jalan yang dianggap terbaik, yaitu perang. Di sini berlakulah prinsip “civis pacem para bellum” (yang mencintai damai haruslah bersedia perang).
Pada saat pergolakan Permesta bergejolak di daerah ini tahun 1958-1961, GMIM terpanggil, terus berseru serta mengajak kedua kubu (Pusat-Permesta) yang berseteru untuk segera menghentikan pertikaian. Saat Tentara Pusat mengadakan operasi penumpasan Permesta Badan Pekerja Sinode GMIM dalam sidang tanggal 12 Maret 1958 mencetuskan sebuah seruan yang bunyinya antara lain: “Tinggalkanlah dan hentikanlah jalan kekerasan, melalui pemboman, perang saudara antara kita dengan kita. Hentikan pemuntahan peluru dan granat di Kota Manado dan kota-kota lainnya yang telah menyebabkan tewasnya orang-orang tak berdosa. Usahakan penyelesaian pergolakan ini, ganti pedang dan tarik pesawat-pesawat pembom serta serangan-serangan yang seru dan hebat (membahana)." Seruan itu ditandatangani oleh Ketua Sinode Ds AZR Wenas dan Panitera (Sekretaris Umum) Pdt. PW Sambouw. Selain itu ditegaskan dalam seruan itu: "Sekali lagi kami tegaskan bahwa adalah bertentangan dengan kehendak Tuhan Allah daerah kita Minahasa dan daerah-daerah lain yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen akan mengisap darah dari anak-anaknya sendiri dan darah suku-suku yang lain di Indonesia karena perang saudara ini."
Seruan yang dikeluarkan sekitar dua pekan setelah terjadinya pemboman di Manado dan Tomohon, tanggal 22 Februari 1958 ini ditujukan kepada sekitar 400.000 jiwa warga Kristen yang dipimpin oleh GMIM, yang tersebar di Tanah Minahasa, daerah pekabaran injil GMIM di Bolmong sampai Sulteng saat itu. Badan Pekerja Sinode GMIM juga menyusun seruan kepada pemerintah tanggal 12 Maret dan 28 Juni 1958.
Seruan Ds. Wenas diajukan lagi di Radio Permesta di Manado bulan April 1958 sebanyak dua kali yang mana menyerukan agar sengketa Pusat dan Daerah diselesaikan melalui musyawarah. Tanggal 5 Mei 1958 BPS GMIM menyerukan supaya di jemaat-jemaat diadakan doa syafaat untuk kesembuhan Negara dengan nats pembimbing II Tawarikh 7:14. Usaha-usaha perdamaian GMIM ini kemudian dianjurkan supaya diikuti juga oleh Gereja-gereja lain baik di Minahasa maupun di luar Minahasa.
Saat TNI mendarat di Kema pada 16 Juni 1958, BPS GMIM kembali mengeluarkan seruan yang ditujukan kepada Pemerintah Pusat, PRRI/Permesta serta kepada seluruh warga GMIM. Seruan itu dikeluarkan setelah mendengar dan menyaksikan bahwa pertempuran dan perang saudara antara anak dan orang tua mulai meluas terutama dari kawasan Kema ke Manado dan Tondano. Dalam seruan yang juga ditandatangani Ketua dan Panitera BPS GMIM diawali nats Mazmur 130:1,2. Seruan ini juga mengungkapkan: Sinode GMIM masih tetap berseru-seru minta dihentikannya perang setelah memperhatikan semakin banyak korban jiwa dan harta benda dan jatuhnya korban jiwa manusia yang besar sekarang ini belum pernah terjadi di Tanah Minahasa sebelumnya. Bahwa pengorbanan dan pembunuhan terhadap prajurit-prajurit resmi, anak-anak muda dan tentara pelajar serta rakyat jelata di desa dan penyingkiran tidak mungkin bisa dipertanggungjawabkan. Ini membangkitkan murka Tuhan Allah kita dalam Jesus Kristus." Sarana dan prasarana GMIM memang kena imbas, kendaraan-kendaraan diambil oleh TNI sehingga Ds AZR Wenas mengunjungi jemaat-jemaat dengan menunggang kuda. Nanti setelah setahun kemudian pada bulan Mei 1959 barulah hubungan-hubungan menjadi lancar karena kendaraan-kendaraan GMIM dikembalikan tentara.
Selama periode Pergolakan Permesta ini, GMIM berada pada masa “sial dan malang, genting dan berbahaya”, namun selama itu pula GMIM diuji. Akibatnya GMIM lebih dihargai oleh masyarakat di Minahasa dengan mengecualikan penganut paham komunis. Anggota-anggota jemaat, Majelis Gereja, pengantar-pengantar jemaat mengungsi ke kebun-kebun dan hutan-hutan. Jika banyak pendetta di antaranya anggota-anggota Badan Pekerja Sinode telah mengungsi bersama anggota jemaat, maka Ds AZR Wenas tinggal tetap di rumah kediamannya yang terletak di samping kantor Sinode di Tomohon. Para zendeling/misionaris dari Belanda dan Amerika harus menyingkir dari GMIM karena keadaan ini. Sekalipun demikian, GMIM tetap melayani anggota-anggotanya baik di daerah yang dikuasai Tentara Pusat maupun daerah yang dikuasai Permesta. Jalan-jalan raya menjadi rawan karena menjadi sarana pencegatan oleh pihak Permesta. Untuk bepergian, harus diadakan surat pas/ijin, baik di daerah yang sudah dibebaskan TNI maupun di kalangan Permesta sendiri.
Dalam periode pergolakan Permesta ini juga terbentuk dua kekuatan, yaitu pemerintahan militer dan sipil yang taat pada Pemerintah RI (Pusat) dan pemerintahan militer dan sipil yang taat pada PRRI dalam naungan Divisi Permesta. Dua kekuatan yang saling membinasakan ialah yang pro dan anti Permesta. Selama periode ini tenrata Pusat dan Tentara Permesta saling tembak, kejar-mengejar dan saling membom. Selain itu antar saudara saling bunuh, suami berpisah dengan keluarga bahkan tewas di medan tempur, saling curiga, saling menculik, pendidikan terbengkalai, penyakit merajalela karena kekurangan obat-obatan.
Moral dan akhlak, kehidupan jasmaniah dan rohaniah saat itu berada di peringkat paling bawah dalam sejarah Minahasa modern. Beberapa orang bahkan bertindak kanibal, walau binatang dengan mudah didapat di hutan bahkan hewan-hewan peliharaan yang dibiarkan oleh para pemilik yang mengungsi.
Selain itu, menguatnya kembali mistik di kalangan orang Kristen Minahasa dengan mewabahnya demam mistik. Kepercayaan terhadap kekuatan mistik Opo-opo, leluhur orang Minahasa yang sangat diyakini kembali mengental. Kekebalan tubuh terhadap bacokan atau tembakan senjata merupakan hal yang paling laris dalam situasi yang siap bertempur tersebut. Jimat-jimat tersebut ada yang berbentuk batu cincin, keris, sapu tangan, atau ikat pinggang jimat. Yang paling disukai dan dianggap hebat kesaktiannya adalah ikat pinggang jimat, berupa batu-batu kecil ataupun akar-akaran yang telah dibungkus dengan kain merah, beruas-ruas yang disebut Sambilang Buku (Sembilan Ruas). Selain itu ada jimat penghilang tubuh serta jimat terbang yang juga menjadi 'dagangan' laris saat itu. Ada juga jimat yang diberikan dalam bentuk air yang diminum atau dimandikan. Salah satu akibat utama dari mistik ini adalah banyak menimbulkan perpecahan bahkan lucut-melucuti senjata, serta kudeta kekuasaan di antara sesama pasukan. Hal ini merupakan kelemahan fatal bagi keutuhan dan kekuatan Permesta, sebab seorang bawahan yang merasa dirinya sakti, bisa saja melawan atasannya.
Oleh karena itu GMIM merasa terpanggil untuk menyegarkan kembali makanan rohani warganya. Ketua Sinode Ds AZR Wenas kemudian menyusun renungan tanggal 31 Desember 1958 dan 1 Januari 1959 untuk dibacakan di radio tidak diucapkan karena tidak disetujui Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Tomohon (Pekuperda). Sekalipun demikian stensilannya dapat diterima oleh jemaat-jemaat sampai di hutan-hutan.
Tercatat beberapa kali Ds Wenas ke Jakarta melaporkan kepada para pejabat terkait maupun warga Kawanua di sana untuk turut berperan mengatasi hal ini. Beberapa kali Ds Wenas menyurat bahkan bertemu langsung dengan Presiden Soekarno untuk melaporkan dan mencari penyelesaian. Sedikitnya tiga kali Ds Wenas menyurati Presiden Soekarno yakni tanggal 27 dan 28 Agustus serta tanggal 26 September 1959 guna mencari penyelesaian konflik itu.
Pada sisi yang lain ia juga menjadi perantara untuk bertemu dan membahas permasalahan itu dengan tokoh-tokoh Permesta. Jadilah Ds Wenas sebagai kurir. Suatu waktu ia disuruh menemui Kolonel Joop Warouw di Remboken. Demikian juga dengan Kolonel Kawilarang di Desa Panglombian ataupun di Desa Tara-Tara. Dalam suasana yang sulit sekalipun Pelayan yang setia ini tetap sedia melaksanakan misinya meski harus berjalan kaki atau naik kuda sekalipun demi tercapai dan terciptanya perdamaian di daerah ini.
Hal senada sebenarnya sudah disampaikan sejak Prsiden Soekarno hadir dan berpidato pada HUT Sinode GMIM, 30 September 1957 di Gereja Sion Tomohon. Ketika itu Permesta baru 6 bulan diproklamirkan. Alhasil, tanggal 14 April 1961 tokoh-tokoh kedua kubu yang bertikai menghadiri pertemuan yang diistilahkan sebagai "Penyelesaian" di Susupuan, yakni perbatasan Tomohon dengan Desa Woloan. Lagi-lagi GMIM yang bertindak selaku fasilitator mengerahkan sejumlah pekerjanya mempersiapkan lahan upacara pertemuan itu. Permesta diwakili Panglima Besar Alex Kawilarang dan Pemerintah Pusat oleh KASAD Jenderal Achmad Yani. "Penyelesaian" ini diawali dengan pertemuan pendahuluan perwakilan kedua kubu di Desa Lopana, Tumpaan pada 2 April 1961, dan kemudian ada pertemuan lagi antara Kawilarang-Nasution di rumah keluarga Hans Tular di Tomohon.
Oleh Bodewyn Grey Talumewo
Telah dipublikasikan di Majalah Fakultas Theologi UKIT "Inspirator" Edisi Maret-Mei 2007
0 comments
Post a Comment